1. Avika Adelard

88 30 37
                                    

"Kebahagian terbesar adalah, ketika kamu dapat melihat sebuah senyuman tulus, terbit di bibir orang yang sangat kamu sayangi."

-Avika dalam mode haru-

Aku terdiam, memperhatikan pantulan tubuhku yang semakin gendut di cermin. Lemak-lemak di lenganku semakin menumpuk, bahkan baju seragam abu-abu berlengan panjang yang baru saja ingin aku kenakan, sudah tidak bisa dikancingkan lagi.

Aku berdecak. Padahal baru dua minggu aku libur sekolah akhir semester satu. Tapi mengapa kenaikan berat badanku sebegini drastisnya?

Aku membuka lemari, mencari seragam apa saja yang masih muat aku kenakan. Masa bodoh jika guru-guru memarahiku karena tidak memakai seragam sesuai jadwal. Toh, itu lebih baik, daripada aku berangkat ke sekolah dengan tidak mengenakan apa pun.

Bajuku di lemari sangat berantakan, bahkan Eyang sering marah-marah karena aku tidak bisa merawat barangku sendiri. Tapi aku tahu, kalau Eyang sangat menyayangiku melebihi apa pun.

Dapat!

Aku berhasil menemukan seragam pramuka, yang memang ukurannya jauh lebih besar daripada seragamku yang lain. Aku berpikir sejenak. Masa iya aku harus mengenakan seragam pramuka di hari senin?

Aku beralih pada baju seragamku yang lain. Kedua mataku tertuju pada seragam kotak-kotak, yang mungkin masih muat aku kenakan. Jika tidak muat juga, aku akan mengenakan seragam pramuka sebagai gantinya meskipun terpaksa.

Sumpah demi apa pun aku langsung sujud syukur di tempat, saat baju seragam kotak-kotak berlengan panjang masih muat aku kenakan.

Buru-buru aku mengumpulkan rambutku menjadi satu lalu mengikatnya.

"Avika Adelard siap berangkat sekolah!" seruku penuh semangat.

Tapi belum sepenuhnya siap. Aku baru ingat kalau sejak bangun tadi aku belum memakan apa pun.

Pasti saat ini Eyang sudah menungguku di bawah. Dengan langkah yang dipercepat, aku membuka pintu kamar dan meniti anak tangga satu per satu.

Senyumku terbit, ketika netraku menangkap sosok Eyang yang tengah sibuk menata makanan di meja makan.

"Selamat pagi, Eyang!" ucapku. Wanita paruh baya itu merentangkan kedua tangannya, aku yang sudah paham pun langsung menghamburkan diri ke dalam pelukannya.

"Baru saja Eyang akan pergi ke kamar kamu, Eyang kira kamu belum bangun." Suaranya yang khas mulai memasuki indra pendengaranku. Terima kasih banyak, Tuhan, karena sudah memberikan umur panjang dan kesehatan untuknya.

"Sudah dong, Eyang. Semalam Avika sudah menyetel alarm, karena terlalu semangat buat berangkat sekolah."

Eyang mengangguk paham. Ia menarik kursi makan dan menyuruhku duduk di sana.

Kedua netraku membulat takjub, melihat betapa banyaknya masakan yang sudah disediakan oleh Eyang di meja makan. Namun entah mengapa, pandanganku justru tertuju pada sayur bayam dan ayam goreng buatan Eyang.

"Iya, Sayang. Eyang juga sudah buatkan masakan kesukaanmu sejak tadi," ucapnya halus. Kerutan di matanya semakin terlihat jelas, saat ia tersenyum.

Tuhan, aku ingin Eyang tetap berada di sampingku. Aku ingin membuatnya bahagia, sama seperti ia memberiku banyak bahagia selama ini.

"Kenapa bengong, Sayang? Ayo dimakan, jangan sampai kamu telat berangkat sekolah."

Suara Eyang membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, tanganku meraih piring yang sudah terisi nasi.

Sambil menyuapkan nasi ke dalam mulut, aku memperhatikan Eyang dari balik bulu mataku. Ia sudah sangat tua, tidak seharusnya aku merepotkannya seperti ini. Pernah aku bilang kepadanya, bahwa aku bisa mengurus diriku sendiri dengan ia tetap berada di sisiku. Tapi ia menolak dan mengatakan, "Kamu itu cucu Eyang. Eyang sangat menyayangi kamu melebihi apa pun. Eyang tidak akan kerepotan jika harus menyediakan banyak makanan untuk kamu."

Eyang sangat baik. Aku sangat menyayanginya.

"Sayang, ini sambalnya. Tadi Eyang buat pagi-pagi sekali, biar kamu bisa mencobanya."

Mataku berbinar, menatap sambal tomat buatan Eyang. Tadi aku sama sekali tidak melihatnya, mungkin karena terlalu banyak makanan yang disediakan oleh Eyang.

Aku menuangkan tiga sendok sambal ke piring makanku. Rasanya sangat lezat, bahkan menurutku ini tidak terlalu pedas.

"Terima kasih banyak, Eyang. Pokoknya, Avika selalu suka sama masakan Eyang!" Aku melanjutkan kembali kegiatan makanku. Dari balik bulu mataku, aku dapat melihat, kalau saat ini Eyang tengah tersenyum senang.


Ig: alyarf65.

Salam.

Punten, Gendut!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang