Zea menatap gelap surya dibalik goresan awan sore. Brosur ditangannya masih banyak, hanya berkurang dua puluh lembar dari lima puluh lima. Sedangkan malam akan menjemputnya, pasti lemparan emosi kedua orang tua Zea menyambutnya kala pulang nanti, belum lagi pemilik kedai.
Sudah lima bulan pertama dia bekerja paruh disini. Kafe mini dekat pinggir jalan, namanya tidak begitu terkenal dimata khalayak. Zea diminta untuk pergi sejauh lima kilometer upaya habiskan lembar-lembar potongan harga itu. Zea yang tak yakin mulanya, terpaksa maju dan pergi keluar kedai. Padahal biasanya dia tidak pernah keluar selain menyapu bersih dedaunan kering di teras parkiran.
Kembalinya Zea, dia dapatkan awak kedai sudah bersiap pergi kerumahnya. Lagi-lagi tidak ada kemajuan, membuat brosur hanya membuang-buang uang penghasilan. Ia menebak, bulan depan gajinya akan turun lima ratus ribu dari gaji awalnya sebesar tujuh ratus lima puluh. Per bulannya.
"Kalau kinerja kau segini-gini saja, mana laku daganganku. Kau habiskan brosur ini saja tidak Zea. Bagaimana caranya untuk membayar kau bulan depan?" omel si pemilik kedai.
"Maaf, Bu." Tunduknya.
"Terus aku apakan ini? Untuk lap kaca?"
Zea setia menunduk. Kebanyakan orang Timur tengah marah, perubahan ekspresi yang mengancam keteguhannya. "Saya minta maaf."
"Maaf tidak membantu uang pembuatan brosur ini kembali, Zea. Kau tahu berapa yang aku keluarkan? Bah! Setara gaji kau, tahu!" Imbuhnya lagi, "lihat disana. Padahal aku sudah berharap tinggi kertas-kertas brsosur itu habis ditangan kau. Kupotong gaji kau, eh? Tidak ada peningkatan yang aku dapatkan selama kau kerja, Zea. Mentok sapuanmu saja bersih."
Mata Zea membeliak, tautan jari-jarinya lantas terurai. "Potong lagi? Kemarin saya salah antar pesanan sudah seratus—"
"Kau itu, sudah aku selamatkan masih menawar! Tahu etika tidak? Baik gaji kau kupotong seharga tumpukan brosur ini dari pada kau mati kelaparan, Zea." Si pemilik kedai berteriak.
"Bu, tolong jangan dipotong lagi ... saya—"
Si pemilik kedai berkacak pinggang, mencondongkan tubuhnya sedikit. "Saya apa? Alasanmu itu buat bayaran sekolah, kan? Mintak lah Bapak kau, buat lunasi hutang-hutang sekolahmu itu, jangan padaku. Kau ini masih pelajar, Zea, harusnya kau ini les atau belajar apalah untuk kelulusan nanti. Anak bawang macam kau ini patutnya pikirkan masa depan, bukan uang."
Gadis itu terdiam. Membiarkan segalanya terjadi begitu saja. Semilir angin malam menembus seragam yang dikenakannya kembali. Orang tuanya tidak tahu jika Zea satu-satunya anak mereka yang menafkahi dirinya sendiri, mengira si sulung belajar diluar sampai larut malam.
Sekolah, kerja paruh waktu, belajar, mengerjakan tugas, dan seperti itu setiap harinya. Libur pun Zea tidak akan diam dirumah, dia bukan Adiknya yang segala kebutuhannya diberi sesuai keperluan. Adiknya tidak perlu memikirkan biaya sekolah, uang seragam, ATK yang belum mampu terbeli seperti Zea yang menyedihkan ini. Zea hidup seakan-akan ia adalah anak buangan. Menopang hidupnya dengan kaki sendiri, tidak pernah mengadahkan tangannya kepada Ayahnya.
Tapi mati juga bukan jawaban, gumamnya membenarkan selempang tas yang merosot. Lagian gue juga udah mati, bedanya masih dikasih hidup aja sama Tuhan.
Genangan itu meleleh tepat dari pelupuk. Jalanan komplek ramai lancar, lalu lalang berbarengan bersama isak bisunya yang parau.
Betapa tidak adilnya, tidak ada roda berputar dalam kehidupan Zea. Tak ada gunanya marah atas perlakuan orang tuanya, Zea juga tidak meminta kehadirannya dalam hidup ini. Mau menyalahkan siapa, Zea saja tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragmen Impresi
Short StoryFragmen Imperesi adalah wadah dari kepingan ide yang ingin dikeluarkan. Beberapa tokoh akan tersambung dengan cerita yang sudah terpublikasi. . . . Cover by : Ain