"Lah kok bisa hujan sih?" Adalah pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Miya Atsumu ketika memijakkan kaki ke luar kafe. Padahal dia sudah memastikan ramalan cuaca hari ini tidak akan ada hujan. Lain halnya dengan [Name] yang terlihat gelisah karena jam sekarang harusnya ia sudah berada di rumah, tetapi hujan membuat perjalanannya terhambat.
"Duh, terobos gak ya?" tanyanya.
"Tunggu reda aja dulu, [Last Name]-chan. Ini gak lama lagi reda kayaknya."
"Tahu darimana kau?" Suna menyela dengan ponsel di genggaman. "Menurut prediksi cuaca, hujan ini akan bertahan sampai malam."
"Hah? Masa' aku disini sampai malam," keluh sang gadis, menatap air yang berjatuhan ke tanah. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena lupa membawa payung, padahal sudah diberitahu berkali-kali oleh ibunya mengingat cuaca sekarang tak menentu.
Atsumu sudah siap-siap untuk menerobos hujan, melepas jas miliknya sebagai payung dan berdiri di dekat [Name], mengajak gadis itu untuk pulang bersama dengan berlari bersama hujan.
"Mau nerobos?" tanya si pirang, membuat [Name] terdiam sejenak. Kalau dia ikut dengan Atsumu, bisa-bisa lelaki ini kepedean. Secara tak langsung Atsumu tadi menyatakan perasaannya 'kan? Namun kalau dia tetap disini sampai malam, bisa-bisa ia diamuk oleh orangtuanya. Sejenak ia menoleh ke Suna yang asik pada ponselnya, tak sedikitpun terpaku padanya. [Name] hanya memikirkan nasibnya kalau tidak pulang ke rumah, oke. Dia tidak mau memberi harapan pada Atsumu, sungguh tidak mau karena hatinya sudah diberikan pada Suna (walau lelaki itu belum mau menerimanya).
[Name] mengangguk, membuat Atsumu tersenyum senang. Ia merapatkan tubuhnya ke tubuh sang gadis agar sama-sama terlindung dari hujan.
"Dalam hitungan ketiga kita lari, oke?" Atsumu memberi arahan yang dijawab anggukkan lagi oleh sang gadis. "Satu ... dua ... tiga!"
Pada hitungan ketiga pun mereka berlari dan terkena hujan, mengingat jas yang mereka pakai hanya berlapis kain katun dan satin. Bahkan mereka lupa berpamitan dengan Suna. Lelaki beriris zamrud itu baru saja sadar bahwa kedua insan tersebut telah pergi meninggalkannya. Namun dari tempatnya berdiri ia bisa melihat Atsumu dan [Name] berlari beriringan membuatnya kesal. Entah [Name] atau Atsumu, ia merasa keduanya membuat dirinya kesal tapi kenapa? Karena mereka meninggalkannya?
Tidak. Suna menggeleng dengan cepat. Ia lebih suka kalau dua orang itu menjauh, kalau bisa tidak ada di hadapannya karena mereka benar-benar berisik. Lantas, apa yang membuatnya menjadi seperti ini?
Ah, masa' bodoh lah. Peduli setan, lama-lama rasa kesalnya juga akan hilang.
🐥🐥🐥🐥
Suna memijakkan kaki ke kelasnya, berjalan ke bangku miliknya dan tak sengaja ia mendapati bangku si pirang yang masih kosong. Padahal sebentar lagi kelas akan di mulai. Maniknya pun ikut bergulir ke makhluk yang duduk di depan Atsumu yang tak lain adalah [Name]. Gadis itu tampak menggigil, bahkan di dalam jasnya terdapat sweatshirt rajut begitu tebal dan syal hitam menggulung di lehernya. Kernyitan muncul di dahi Suna, ia memutuskan untuk duduk di bangku tapi tatapannya tak lepas dari sang gadis.
Sakit? pikirnya.
Tepat ketika bel tanda masuk berbunyi, spontan Suna mengalihkan pandangan dan berdeham seakan tak terjadi sesuatu. Sesekali maniknya melirik pada gadis di sampingnya. Dilihat [Name] yang mengambil buku dan kotak pensil begitu lemah, biasanya ia begitu bersemangat biarpun tidak paham dengan apa yang akan dipelajari.
Apa karena menerobos hujan?
Suna menggeleng cepat, membuka buku tulisnya dan menepis pemikiran tersebut. Sejak kapan dia jadi peduli dengan gadis bernama [Full Name]? Dari sejak pertama gadis itu menyatakan perasaan padanya, Suna sama sekali tak tertarik. Kenapa juga dia harus repot-repot peduli, mau sakit atau enggaknya si [Name] bukan urusannya.
Kepalanya kembali menoleh pada [Name], melihat gadis itu tampak pucat disertai hidung yang kemerahan. Tangannya pun digosok berkali-kali, membuat Suna melihat ke arah pendingin ruangan yang begitu jauh dengan tempat [Name] duduk. Ia juga tak merasakan udara dingin, padahal Suna duduk di dekat jendela.
Ketika guru menaruh bukunya di atas meja hingga menimbulkan suara keras, membuat orang-orang yang melamun--termasuk Suna--tersentak dan kembali fokus pada pelajaran. Sebenarnya ia penasaran dengan apa yang sedang terjadi pada [Name], tapi egonya mengatakan untuk tidak memedulikan hal tersebut.
Tak sengaja ia melihat [Name] mengeratkan syal miliknya, membuat Suna mendecih. Ia berdiri dari bangkunya, membuat seisi kelas terfokus padanya--begitupula dengan [Name].
"Pak," ucap sang lelaki, menunjuk gadis yang berada di sampingnya. "Anak ini tidak enak badan. Boleh aku membawanya ke ruang kesehatan?"
Baik sang guru, teman-teman di kelasnya, apalagi [Name] terkejut bukan main. Kenapa lelaki ini tiba-tiba bertingkah aneh? Apalagi mengatakan bahwa [Name] sakit.
[Name] sebenarnya memang tidak enak badan. Mungkin pengaruh dirinya menerobos hujan kemarin. Ibunya menyuruhnya untuk istirahat di rumah, tapi ia menolak karena tidak mau satu hari pun tidak melihat Suna.
"O-Oh ... ya. Kalau sudah silakan kembali ke kelas lagi, Suna-san."
Suna mengangguk, membungkuk sejenak guna pamit pada sang guru lalu beranjak dari bangkunya, menarik [Name] yang membuat gadis itu mau tak mau berdiri dan mengikuti Suna.
Keduanya saling menggenggam tangan, bahkan sampai keluar kelas dan Suna dapat merasakan betapa hangatnya tangan gadis itu. Ia mendecak, membawa [Name] ke hadapannya dan berpangku tangan.
"Kau sama Atsumu kemarin kemana?"
[Name] menggeleng cepat. "E-Enggak kemana-mana kok! Atsumu langsung mengantarku pulang."
Suna menatap [Name] curiga, membuat gadis itu bingung. Tak lama kemudian ia pun berjalan lebih dulu, meninggalkan [Name] dan berucap, "Kalian berdua bodoh. Memangnya tidak bisa ya menunggu hujan reda?"
"Kenapa sih? Sensi banget," cibir [Name] seraya mengikuti langkah sang lelaki. Ia pun menyadari bahwa sikap Suna saat ini adalah kepedulian padanya, membuatnya melompat-lompat kecil dan berjalan mengelilingi lelaki itu. "Artinya kau peduli denganku ya? Ya? Ya 'kan?"
"Untuk apa aku peduli dengan gadis se--"
Omongan Suna terhenti ketika [Name] bersin. Tak hanya sekali, tapi dua kali. Lelaki itu pun mendengkus, melepaskan jas miliknya dan menyampirkannya ke bahu [Name] lalu menggendongnya ala pengantin. Menyadari itu membuat [Name] terkejut sekaligus panik karena dirinya tiba-tiba digendong.
"S-Suna, aku bisa jalan sendiri kok!"
"Mau aku lempar?"
[Name] menggeleng, membuat lelaki itu pun berjalan seraya membopong sang gadis. Suna merasakan beban yang digendongnya, begitu ringan. Ketika insiden di tangga pun, ia hanya spontan berucap dan mengatakan bahwa [Name] berat. Anak ini makannya teratur gak sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴛᴡɪᴛᴛᴇʀᴘᴀᴛᴇᴅ [✓] || ꜱᴜɴᴀ ʀɪɴᴛᴀʀᴏᴜ
Fanfiction[Suna Rintarou x Reader; Slight! Miya Atsumu] Sequel: Lebih dari Egoku Tahun terakhir di SMA Inarizaki, ia tidak boleh bertindak ceroboh. Perlahan tapi pasti, ia akan membuat Suna suka padanya!