Dua

24 2 0
                                    

Sudah pukul empat sore, dan Rumi masih duduk di kursi sekre BEM fakultasnya. Proker Journey to Wellness yang disingkat menjadi JTW sudah mulai dijalankan sejak seminggu yang lalu, dan tak disangka peminatnya cukup banyak. Membuat Rumi sadar bahwa di luar sana masih banyak sekali mereka yang butuh didengarkan. Masih banyak sekali mereka yang butuh ditemani dan diyakinkan kalau pada akhirnya, badai sedahsyat apapun pasti akan berakhir.

Sepuluh menit lagi Rumi akan bertemu dengan orang terakhir yang menjadi peserta JTW yang harus dia handle. Masing-masing anak Adkesma menghandle 3 orang peserta. Rumi meregangkan tubuhnya sejenak, lalu memoles ulang liptint yang ia bawa agar tidak terlihat pucat. Hari ini rasanya begitu melelahkan. 

Ia melipat tangannya, lalu menumpukan kepalanya di sana. Rumi memejamkan matanya sejenak. Sepuluh menit, sepertinya cukup untuk mengistirahatkan matanya. Namun, belum ada semenit matanya memejam, suara ketukan pintu terdengar. 

Rumi tersentak, ia segera bangun dan mendapati seseorang tengah tersenyum kikuk kepadanya. Rumi baru saja hendak mempersilahkan laki-laki itu masuk ketika ia membuka suara terlebih dahulu.

"Maaf ya, gue kayanya datangnya kecepetan," katanya terlihat tak enak hati.

Rumi berdiri dari tempatnya duduk. "Eh, nggak apa-apa Kak, silakan masuk."

Pemuda itu mengangguk. "Alas kakinya tolong dilepas ya, Kak," ujar Rumi mengingatkan, yang lagi-lagi dibalas anggukan dan seulas senyum olehnya. Rumi mempersilahkan laki-laki itu duduk, yang ia ketahui dari lembar pendaftaran berada satu tahun di atasnya. 

Kara Wajrapani. 

Teknik Mesin 2018. 

Setidaknya itu informasi yang ia peroleh. Memandangi laki-laki itu, tiba-tiba ia teringat ucapan Karen.

"Asli beruntung banget lo, dia tuh manusia paling ganteng di mesin!" kata Karen menggebu-nggebu.

"Gue nggak kenal, Ren," ujar Rumi masih kebingungan.

"Pokoknya ganteng. Awas ya lo, jangan naksir! Harus profesional."

"Iya Karen cantik. Pro-fe-si-o-nal."

Iya, Rumi mengakui, wajah laki-laki di hadapannya ini ada di atas rata-rata. Akan terlihat sangat bohong jika Rumi tidak mengakui itu. Ia menggelengkan kepalanya, kenapa gue malah mikirin beginian sih?!

"Kenapa? Kok geleng-geleng?"

Rumi terkesiap, kaget. "Eh enggak Kak, lagi agak capek aja, hehehe."

"Oh, gue kirain lo sakit. Pucat banget soalnya."

Rumi mengambil ponselnya untuk bercermin, padahal tadi ia sudah mengoleskan liptint di bibirnya. Tapi memang raut wajahnya masih terlihat sangat pucat.

"Aku nggak apa-apa kok, Kak. Paling kecapean aja."

Kara mengangguk paham, lalu membuka tasnya seolah mencari sesuatu.

"Nih, buat lo. In case lo belum makan. Tadi rencananya gue bawa buat sarapan, tapi nggak sempat," kata Kara sambil mengulurkan sekotak susu rasa stroberi.

"Eh, nggak usah repot-repot Kak. Aku nanti malah jadi nggak enak," ujar Rumi menolak halus. Ia tidak mau merepotkan siapapun. Ya, meskipun ia belum makan dari siang.

"Nggak apa-apa, masih ada lima menit kok sebelum jam temu kita mulai. Lo minum aja dulu. Soalnya muka lo pucat banget, takutnya lo kelaparan." Kara terkekeh, membuat Rumi membeku sejenak.

Rumi akhirnya mengambil sekotak susu stroberi itu, lalu meminumnya perlahan. "Makasih ya Kak, maaf banget nih ngrepotin."

"Santai."

When the Storm is OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang