Motor yang dikemudikan Kara berhenti di depan gerbang kampus, tepat di dekat gerobak penjual bakso bakar yang ingin Rumi beli. Kepulan asap beraroma kecap melesat masuk menuju indra penciumannya, membuat perutnya yang lapar semakin keroncongan.
"Tunggu bentar ya, Kak." Rumi turun dari motor, lantas ikut mengantre bersama pembeli yang lain.
Kara memandang langit yang warnanya berubah semakin kelabu, rasanya hanya perlu beberapa menit untuk langit membasahi bumi dengan hujannya. Kalau dipikir-pikir sebelumnya, ia tidak pernah menyangka kalau hari ini akan ada di posisi ini.
Duduk di motor kesayangannya sembari menunggu perempuan yang ia cari setahun silam mengantre bakso bakar. Kadang memang cara takdir bekerja begitu lucu, ia tak segan mempermainkan manusia dengan cerita yang tidak disangka-sangka sebelumnya.
Ketika Kara mengatakan bahwa sebotol air mineral dan sebuah plester luka yang diberikan Rumi setahun lalu sangat berarti baginya, ia bersungguh-sungguh. Tak sekalipun Kara berbohong soal itu. Ia terbiasa sendirian dan tanpa teman, ia terbiasa tidak dipedulikan, laki-laki itu berteman sangat erat dengan kesepian. Dan di hari ketika ia melihat ada tangan lain yang mengulur padanya, menawarkan bantuan dengan sorot mata tulus dan tanpa niat lain, rasanya ia seperti diselamatkan.
Hari itu, Kara Wajrapani memutuskan untuk bertahan di dunia yang menyeramkan ini lebih lama. Setidaknya sampai ucapan terima kasihnya untuk Rumi ternyatakan dengan baik. Dan hari ini, setelah ucapan terima kasihnya sampai kepada tuannya, Kara ingin bertahan di dunia ini lebih lama lagi, setidaknya sampai dia bisa paham bagaimana rasanya punya teman yang selalu ada.
Karena entah kenapa, ia hanya berpikir kalau Rumi adalah teman yang selama ini ia harapkan kehadirannya.
"Yuk Kak, Kak Kara jadi mampir ke burjo?" Rumi datang dengan satu kantong plastik bakso bakar di tangannya. Ia merapikan hijab warna dusty yang dipakainya yang sedikit berantakan karena tertiup angin.
"Jadi. Nggak apa-apa kan mampir sebentar?"
"Nggak apa-apa dong, kan gue cuma nebeng," Rumi terkekeh, lalu tawanya seperti menyalur, membuat Kara lantas terkekeh sekalipun ia tidak tahu apa yang lucu.
Hanya perlu menyeberang lampu merah dan masuk ke gang kecil sekitar dua menit, mereka sampai di burjo Mas Agus, warung makan yang ramai dikunjungi di depan kampus. Burjo Mas Agus selalu ramai, seperti saat ini. Hanya ada beberapa kursi kosong yang tersisa.
Baru saja mereka beranjak masuk ke dalam, hujan tiba-tiba turun. Rintiknya cukup deras, menimbulkan suara khas air yang menabrak atap seng. Langit memang sudah mendung sejak tadi, jadi hujan sore ini adalah sebuah kewajaran.
"Yah, hujan nih." Kara mengambil helm yang ada di motornya, membawanya masuk ke dalam agar tidak basah terguyur hujan.
"Nggak apa-apa Kak, kita makan di sini dulu aja, sekalian neduh."
"Oke, lo mau pesan sesuatu nggak? Biar sekalian gue pesanin."
"Es teh aja deh Kak," Rumi menyahut. Kara mengangguk paham, lantas menghampiri Mas Agus yang sedang melayani pembeli yang lain juga.
Saat kembali ke meja, Rumi tengah sibuk dengan bakso bakar yang ia beli tadi. Kara tersenyum hangat memandang perempuan itu.
Oh, jadi begini ya rasanya punya teman.
Sekalipun sebenarnya Kara tidak tahu benar apa Rumi mau menjadi temannya, atau hanya formalitas proker yang ia pegang. Tapi Kara bisa memastikan, ada sorot ketulusan di matanya dan akan terlalu jahat baginya untuk melakukan itu.
"Nih Kak, tadi gue beli banyak. Sengaja mau dikasih ke Kak Kara pas pulang nanti. Tapi karena kayanya neduhnya bakal lama, mending dimakan sekarang keburu dingin."
KAMU SEDANG MEMBACA
When the Storm is Over
Teen FictionMari, kuajak kamu bertemu dengan banyak manusia istimewa. Dia yang berjuang setengah mati untuk mencintai dirinya sendiri. Dia yang meringis memeluk luka-lukanya. Dia yang mencari jati diri dan tujuan hidupnya. Dia yang selalu menjadi pendengar teta...