Bab 11 || Gagal

7 0 0
                                    

“Benarkah sudah tidak ada kesempatan untuk kuperbaiki semua, padahal kesempatan kedua selalu diberikan oleh setiap orang. Tidakkah kamu akan memberikannya juga padaku?”
~Rendy Bratama~

Jam pelajaran Bu Melly berlangsung, biologi. Bu Melly menjelaskan tentang DNA, Misya tidak berkedip mendengarkan penjelasannya Bu Melly, penjelasannya begitu rinci dan mudah untuk dipahami. Misya tidak sengaja melihat Rendy yang sedang melamun, wajahnya terlihat begitu sendu, apa karena kejadian tadi pagi?

“Rendy,” panggil Bu Melly. Rendy tak merespon.

Bu Melly menghela napas. Memanggil Rendy untuk yang kedua kalinya, tetap tidak ada jawaban. Bu Melly mulai geram, ia pukulkan buku paket tebal ke meja Rendy. Sontak Rendy kaget.

“I—iya Buk,” jawab Rendy dengan gugup.

“Kenapa kamu hanya melamun. Apa yang kamu pikirkan?” tanya Bu Melly dengan mata melotot, membuat tegang suasana di kelas.

“A—anu Buk,” ucapan Rendy terpotong.

“Silahkan pikirkan masalahmu di luar kelas. SEKARANG!” bentak Bu Melly dengan penekanan di kalimat terakhirnya.

Rendy hanya bisa pasrah, menuruti perintah Bu Melly. Di kelaspun ia tetap tidak akan berkonsentrasi, jadi percuma saja. Rendy keluar kelas dengan langkah gontai, membuat seisi kelas menatapnya dengan tatapan aneh. Selama ini, meski hatinya sakit, Rendy tidak akan bersikap seperti ini, ia masih bisa merasakannya. Namun, untuk kali ini, sejak kedatangan gadis itu, telah membuat kehidupan Rendy semakin tragis.

Rendy duduk di kursi depan kelas sambil memegang kepalanya. Kejadian tadi pagi membuatnya semakin rapuh, tidak ada harapan lagi untuknya.

“Jangan ganggu aku. Aku tegaskan sama kamu. Aku ini bukan kekasihmu itu, namaku Alexa. Kapan kamu bisa mengerti itu?” ucap Alexa dengan nada tinggi.

Kemudian, cappucino yang ia sodorkannya, ditepis oleh Alexa, membuat benda cair kecoklatan itu mengotori rumput hijau. Alexa meninggalkan Rendy yang sedang berdiri mematung sambil melihat ke arah cappucino yang telah berserakan.

Sungguh hal yang tidak terduga bagi Rendy. Kini Alexa semakin membencinya dan akan terus menjauhinya. Memang tidak ada harapan lagi untuk Rendy. Alexa memang bukan Letta yang hilang.

Jam kedua kosong, Rendy kembali ke dalam kelas saat Bu Melly telah keluar. Misya menghampiri Rendy, ia tidak tega melihat keadaan Rendy.

“Ren, mau mendengarkan ceritaku, gak?” tanya Misya.

Meskipun Rendy tidak menjawab. Misya tetap bercerita panjang lebar. Rendy mendengarkannya, ketika cerita Misya sudah mulai terekam oleh Rendy, Rendy menoleh ke arah Misya lalu tersenyum.

“Terimakasih...” ucap Rendy dengan lengkungan di kedua sudut bibirnya. “Terimakasih sudah mau menghiburku,” lanjut Rendy.

“Tapi, ceritaku belum se—” ucapan Misya terpotong oleh bunyi bel istirahat.

“Sa, kita ke kantin duluan ya,” teriak Caca dan Lala sambil memegangi perutnya yang sepertinya sudah memberikan kode sejak tadi.

“Ok, segera menyusul,” sahut Misya dengan melingkarkan jari telunjuk ke ibu jarinya.

“Ke  kantin, yok,” ajak Misya. Rendy mengangguk.

Rendy dan Misya pergi ke kantin bersama. Rendy menggandeng lengan Misya, Rendy membiarkannya. Rendy menganggap Misya sebagai adik kandungnya sendiri. Jadi, ia membiarkan sifat manjanya Misya kepada Rendy. Sedangkan Misya, ada perasaan lain ketika menggandeng tangan Rendy, ia merasa begitu nyaman dan tak ingin membiarkan Rendy lepas.

Ketika sampai di kantin, Rendy melepas tangan Misya. “Aku duduk bareng Riko aja ya. Lagipula kedua sahabatmu sudah menunggu,” ucap Rendy dengan lembut, membuat pipi Misya merona.

Misya memegangi kedua pipinya, agar tidak terlihat oleh Rendy, kemudian mengangguk menyetujui perkataan Rendy. Misya menghampiri kedua sahabatnya dengan senyum yang tak pudar.

“Kenapa kamu, Sa. Senyum-senyum sambil memegang pipi?” tanya Caca heran.

“Lagi sakit gigi kali,” ledek Lala sambil terkekeh, begitu juga dengan Caca.

“Apaan sih, masa’ orang sakit gigi senyum-senyum. Yang ada mewek aku seharian,” dengus Misya. Kedua sahabatnya semakin melepaskan tawa melihat ekspresi Misya yang sedang kesal.

“Eh, kok mejanya kosong?” tanya Misya.

“Kita kan nungguin kamu yang mau pesen, takut keburu dingin,” kata Lala.

“ya dah lah. Pesenin sekarang!” titah Misya.

“Enak aja kau. Kamu lah sekarang yang pesen, kan kemarin aku dan Lala udah,” gerutu Caca.

“Elah, gitu amat sih kalian. Ok dah.” Misya berdiri untuk memesan makanan wajib mereka ketika di sekolah, bakso dan air mineral.

Rendy duduk bersama Riko yang sedang menikmati alunan lagu di earphonenya sambil mengangguk-nganggukkan kepala. Sedangkan Rendy hanya terdiam sambil menopang dagunya.

“Bagaimana, Bro. Sudah nemu caranya?” tanya Riko. Rendy hanya menggeleng.

Riko tersentak melihat respon dari Rendy, ia langsung membuka earphonenya dan menatap lekat-lekat wajah Rendy.

“Kamu gak mau mencobanya?” tanya Riko lagi.

“Sudah. Aku sudang mencobanya tadi pagi. Kuberikan minuman kesukaannya, dia sangat menikmati aromanya, tetapi setelah tahu bahwa aku yang memberikannya, dia menepis minuman itu dan pergi,” jawab Rendy datar.

“Wow, kasian juga nasibmu ya,” ujar Riko membulatkan mulutnya.

“Sepertinya aku nyerah aja,” ucap Rendy pasrah.

“Kok nyerah sih, Bro. Itu kan masih langkah awal. Semangat dong, perjuangin. Kamu coba ajak dia ke tempat yang spesial, yang banyak kenangannya gitu,” saran Riko menyulutkan kembali semangat Riko.

‘Tempat spesial?’ tanya Rendy dalam hatinya. ‘Bagaimana kalau pantai.’

“Ya,” teriak Riko sambil menunjuk ke arah Rendy, membuat siswa-siswi yang ada di kantin merasa terpanggil. Pandangan mereka memusat pada satu objek, Riko. Teriakan Riko juga membuyarkan lamunan Rendy. Riko menutup wajahnya dengan earphone, malu karena kelepasan suara.

“Kamu sih, Ren,” cicit Riko.

“Kok bisa aku. Aku dari tadi diem aja,” protes Rendy.

Riko mendekatkan kepalanya ke telinga Rendy, lalu membisikkan satu kata, “Pantai.”

“Aku juga mikir gitu tadi, aku  dan Letta dulu sering main kepantai. Saat senja datang, kami duduk di atas lembutnya pasir sambil menikmati secangkir coppucino. Itu hal yang terindah tentang hubungan kami,” ucap Rendy sambil membayangkan kenangan masa lalunya bersama kekasih yang sangat disayanginya.

“Tuh dia,” tunjuk Riko.

Terlihat Alexa yang berjalan melewati kantin, ia sendiri, sepertinya baru saja dari taman dan akan menuju kelasnya. Rendy langsung berdiri dan berjalan mengikutinya. Ketika sampai di koridor kelas yang sepi, Rendy mempercepat langkahnya dan menggapai tangan Alexa.

Alexa tersentak merasakan tangannya ditarik, ia membulatkan mata saat memutarbalikkan badannya.

“Kamu lagi?” sinis Alexa.

“Xa, aku Cuma minta kesempatan untuk berbicara berdua denganmu,” pinta Rendy dengan wajah memelas.

“Apa yang kamu mau dariku, hah?” bentak Alexa.

“Waktumu,” jawab Rendy singkat.

“Lepaskan tanganku! Sampai kapanpun aku tidak mau berbicara dengan orang pemaksa kayak kamu,” tegas Alexa. Menghepaskan pegangan Rendy dengan keras kemudian pergi dengan langkah cepat.

Rendy belum mengutarakan niatnya untuk mengajak Alexa ke pantai, tetapi Alexa sudah menolaknya mentah-mentah. Hati Rendy semakin teriris, tidak ada rencana yang berhasil, semuanya gagal. Alexa semakin membenci dan menjauhi Rendy.

‘Apa benar aku terlalu memaksanya?’ Rendy bertanya-tanya dalam hati.
Nasi sudah menjadi bubur, tidak akan lagi rencana selanjutnya. Menatap wajahnya Rendy saja, Alexa sudah tidak mau. Apalagi bersedia menerima ajakannya untuk berbicara berdua di pantai.

Baru bisa up nih😢
Semoga kalian tidak bosan menunggu.
Selamat membaca ya....
Jangan lupa vomentnya😊

Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang