Entah keberuntungan atau kesialan?

2 1 0
                                    

***NAYLA POV***

Hah...! Hari ini benar-benar melelahkan, seharusnya aku sudah berbaring diatas ranjangku menikmati mimpi indah. Tapi aku sekarang malah mesti berkerja, yah ini juga keinginanku sih. Namun aku tak bisa bohong bahwa saat ini aku benar-benar lelah. Seharian hanya bekerja padahal hari ini libur.

Aku melakukan pekerjaanku dengan cepat agar cepat pulang dengan begitu aku tidak akan bertemu 'Dia'. Hah... lebih baik aku fokus dan tak usah memikirkan 'Dia' yang hanya bisa bertingkah selakunya orang gila dan melampiaskan kekesalannya padaku.

"Nay, aku pulang deluan!" sambungnya, "Jangan lupa kunci dan matikan lampu jika kau sudah mau pulang ya!"

Orang yang tadi berseru kepadaku adalah bosku, pemilik café tempat aku bekerja. Aku merapikan beberapa barang yang perlu dirapikan, mematikan lampu setelah mengganti pakaian kerjaku dengan hoodie yang aku kenakan ketika datang tadi, dan mengunci pintu café.

Aku berjalan menuju stasiun bus yang jaraknya tak jauh dari café. Kenapa aku tak minta dijemput supir pribadiku? Padahal aku orang mampu, anak pembisnis dan model?! Tentu saja karena aku tak suka terlalu memamerkan hal yang kupunya, dan semua yang aku punya saat ini bukan dari hasil jerih payahku. Aku hanya ingin menggunakan barang atau uang hasil jerih payahku sendiri, bukan uang ayah dan 'Dia', sampai matipun aku tidak akan menggunakan barang dan uang pemberian 'Dia'.

Bosan menatap dan memaikan handphone digenggamanku, aku memilih menatap jalan---menghitung satu persatu mobil yang lewat. Namun pandanganku menyipit, fokus untuk memastikan orang yang sangat familiar diseberang jalan. Dia terlihat seperti dikejar, panik, dan sepertinya tengah menangis. Menunggu lampu jalan menjadi merah agar bisa menyebrang dengan sangat panik. Begitu lampu jalan telah berganti warna merah, ia berlari menyebrang dengan tergesa-gesa dan seperkian detik kemudian aku tahu dan mengenalinya.

"AUDY!!!" Teriakku nyaring memanggilnya.

Dia berbalik melihat kearahku dan sempat berhenti, namun kembali lagi berlari. Aku bingung, mengapa ia berlari dan tak menghampiriku malah pergi kearah berlawanan. Ketika aku ingin memangilnya lagi tiba-tiba dari seberang jalan ada pria paruh baya yang memegang balok kayu dan berlari berteriak memangil Audy. Aku yang melihat hal itu menjadi panik. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Audy berlari sambil menangis dengan lebam dan luka yang bercucuran darah? Dan kenapa pria itu mengejar Audy dengan balok kayu yang sedikit ada bercak darah disana? Bukankah pria itu ayahnya? Apa yang harus aku lakukan? Ingin membantu aku tidak tahu apa masalahnya, ingin mengacuhkan saja tapi ini bukan hal yang bisa dianggap remeh. Jika hal ini aku acuhkan saja, aku tidak tahu bagaimana nasib Audy nantinya dan aku tidak sejahat itu sampai mengacuhkan hal ini.

Sudahlah, bagaimana jadinya dan bahaya biarlah bahaya mendatangiku, Salahkan aku yang selalu bernasib sial. Aku berlari menuju gang yang tadi dituju Audy, bersembunyi dibalik tembok untuk memastikan keadaan didalam gang sempit dan hanya diterangi oleh sinar bulan.

'Gang buntu?!' batinku ketika melihat gang ini adalah gang buntu.

"JANGAN MENDEKAT!!"

Aku kaget ketika mendengar bentakkan Audy, dan ini pertama kalinya aku mendengar dan melihatnya membentak.

"Pergi... pergilah!"

Tunggu! Aku baru tersadar bahwa bentakkan dan perkataan Audy tertuju padaku begitu tatapan kami bertemu. Aku mengacuhkan perkataannya, mendekat dengan tetap bersembunyi dibalik tong sampah untuk berusaha mengambil batu bata didekat kaki ayah Audy. Kulihat Audy terus menggeleng, dan memberi isyarat kepadaku untuk pergi sambil menahan teriakkannya. Jika boleh jujur aku salut padanya yang berusaha melindungiku dengan mengalihkan fokus ayahnya padanya agar tak menyadari keberadaanku, namun aku ikut merasakan sakit dan sedih melihat ayahnya yang terus memukulinya. Padahal tubuhnya sudah dipenuhi luka dan lebam, baju putihnya sudah menjadi warna merah darah yang bisa diartikan luka-luka ditubuhnya yang menyebabkan bajunya menjadi seperti itu.

"Ayah... tolong, Audy mohon ayah!" Audy melanjutkan perkataannya, "tolong berhenti... sakit...hiks"

"Kau! Kau harus disiksa biar kau tahu berterima kasih!"

BUK!
BRAK!
BAK!

Kesal, sedih, takut, semuanya bercampur aduk menjadi satu didalam diriku ketika melihat kepala Audy yang berdarah karena hantaman keras balok kayu yang dilakukan oleh ayahnya.

Akhirnya, dengan sedikit halangan karena harus bersembunyi aku bisa mengambil batu bata itu. Dengan cepat aku gunakan untuk memukul ayah Audy hingga pingsan, tapi tenang saja karena tidak sampai berdarah mungkin hanya benjol saja.

'maaf om! Saya harus lakukan itu agar bisa membawa Audy pergi. jadi jangan dendam pada saya, ya om,' batinku.

Berlarih dengan cepat aku membantu Audy berdiri, menuju bangku ditaman yang ada disekitar sini. Aku sebenarnya ingin membawanya kerumah sakit tapi dia menolok jadi aku hanya bisa membawanya ketaman setelah membeli beberapa barang dan obat yang diperlukan untuk mengobati dan membersihkan luka-lukanya.

"Terima kasih, Nay,"

"Iya, sama-sama," diam sejenak aku lalu melanjutkan berbicara, "Emm... Ayahmu... Kenapa bisa jadi gitu?"

Dia terdiam, menunduk dan menatap ujung kaki dengan pandangan sendu. Apa aku salah bertanya yah? Gimana nih? Jadi canggung sendiri deh. Aku segera ingin mengalihkan pembicaraan, namun terhenti dengan tiba-tiba saja Audy menjawab pertanyaanku.



TBC
MAKASIH DAH BACA YA;)
JANGAN LUPA VOTMENT!!!

Bye~

Hey! Boy! what do you want?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang