#3: A Tireless Soul

6.1K 261 0
                                    

Brengsek.

Hanya kata itu yang ada di kepalanya sejak dua jam terakhir. Bercokol disana seperti parasit dan memahat setiap bagian dari jiwa dan raganya berkali-kali hingga ia merasa akan meledak.

Seumur hidupnya, ia baru pernah bertemu dengan orang sekanak-kanakan itu dalam masalah pekerjaan. Ia sempat berpikir direkomendasikan mantan direktur perusahaan adalah kesempatan baik untuk menunjukan potensinya dalam pekerjaan baru serta mendapat tambahan gaji bulanan yang sangat menguntungkan.

Namun sepertinya ia salah.

Salah total.

Ia terjebak dalam suatu permainan konyol yang akan membuat siapa saja tertawa jika ia menceritakannya. Permainan yang lebih terdengar seperti tantangan, atau mungkin taruhan?

Entahlah, yang jelas ia akan membuktikan sebagai mampu dan ‘berkompeten’—atau apapun itu yang si brengsek itu gunakan untuk menghinanya, di mata laki-laki egosentrik itu.

Lisa mengurut dahinya perlahan, membiarkan otot-otot di kepalanya merenggang dan mengalihkan fokusnya dari hal-hal kantor ke permasalahnya saat ini sesaat sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membuka pintu bewarna putih koral di hadapannya.

Lisa dapat merasakan bagaimana suhu dingin engsel pintu merembesi setiap inchi dari jemarinya yang berusaha membuka pintu dengan sangat perlahan tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Dan pemandangan pertama yang didapatnya adalah seorang anak laki-laki yang sedang terduduk di atas ranjang berseprai putih.

Dan anak laki-laki itu segera menoleh kepadanya dengan senyum yang merekah lebar.

“Kakak udah pulang? Kok tumben pagi banget?”

Lisa tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Ia mendekati ranjang Gilang yang masih menatapnya dengan penasaran.

“Kakak cuman wawancara sebentar.”

Gilang mengerutkan dahinya perlahan, “Wawancara? Kakak kan udah kerja ngapain diwawancara lagi?”

Lisa tersenyum tipis,  lalu membiarkan jemarinya mengelus pelan rambut jabrik milik Gilang. “Kakak sempet direkomendasiin di jabatan yang lebih oke. Jadi diwawancara dulu tadi. Kamu udah makan?”

Gilang mengangguk singkat, “Makanan disini nggak enak. Oh ya, jadi kakak diterima?”

Lisa mengangguk. Namun sesaaat kemudian ia mulai berpikir apakah kondisinya saat ini dapat dikategorikan sebagai ‘diterima’? Namun tidak ingin Gilang khawatir, ia tidak berkata apa-apa lagi selain membuka sebungkus plastic yang berisikan kotak sterofoam.

Lisa dapat melihat bagaimana pupil mata Gilang membesar dengna penuh kegembiraan ketika ia mengeluarkan kotak sterofoam.

“Itu apa, Kak?”

“Bubur.”

Kegembiraan itu redup seketika. Gilang mencibirkan bibirnya dengan gaya kekanak-kanakan, “Bosen, Kak. Sekali-kali nasi goreng kek.”

Lisa tertawa mendengar komentar Gilang, lalu membuka kotak sterofoam dan mulai menyuapi adiknya perlahan.

“Kamu harus cepet sembuh supaya bisa makan makanan enak lagi.” Ucap Lisa sambil mengisi mulut Gilang dengan suapan kedua.

“Awku uwdwah swhat kok.” Gilang tersenyum memamerkan deretan giginya sebelum menelan gumpalan bubur di mulutnya.

Lisa tertawa sambil kembali mengelus kepala Gilang lembut.

Berharap adiknya itu tidak dapat mengangkap benih kesedihan yang terpendam di dalam hatinya dan keputus asaan yang terkadang muncul di saat ia tidak menginginkannya.

Seperti saat ini misalnya.

***

100% SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang