1

86 7 5
                                    

Tak terasa seminggu sudah aku menjalani kuliah. Masa ospekpun sudah kulewati, mengartikan aku telah sah menjadi mahasiswi UNAIR jurusan matematika. Pagi ini aku telah siap diantar mbak rianti, mbak sepupuku menuju campus.

Tak ada yang istimewa dari hari hariku, tetap sama seperti biasanya. Aku tetap menjadi pendiam dan cuek sekitar, memang bukan sifat asliku cuek sekitar. Tapi ini sudah menjadi sifatku setelah sebulan lalu suamiku, mas arra salah faham kepadaku. Sebenarnya ini juga kebodohan dan kesalahanku telah menyia nyiakan kepercayaannya. Tapi sebenarnya aku juga sangat penasaran apa alasan mas arra bila aku bertanya tentang aisyah yang tak memakai hijab berbaring diatas ranjangnya santai, tapi aku juga takut bila aku bertanya itu mas arra akan benar benar menyeraikanku karena mungkin aisyah istrinya. Kan ngeri kalau gitu?

"ulya..." panggil gadis manis yang  langsung memeluk pundakku saat aku berjalan dikoridor campus menuju kelas.

"gimana kabar hari minggunya?" tanyanya lagi. Ya, dia adalah nanda. temanku sefakultas yang tak tahu mengapa betah berteman denganku yang sekarang seperti ini.

"alhamdulillah." setidaknya itulah jawaban terbaik. Karena aku masih bisa bertahan hidup dimuka bumi ini, walaupun tanpa semangat. Dan tanpa percobaan bunuh diri pasti.

Aku dan nanda terus berjalan menuju kelas. Dari tadi nanda tanpa capek bercerita aktivitasnya dihari minggu yang menurutnya mengasikkan, sedangkan aku lebih memilih diam cukup menjadi pendengar setia.

"sumpah ya..., tambah dino. Si abra tambah ngganteng." heboh nanda yang terdengar sangat alay.

Ya dia banyak bercerita tentang abra setiap hari. Katanya abra adalah mahasiswa baru juga jurusan ekonomi, dan menjadi terkenal karena ketampanan dan sikap pandai bergaulnya. Dan sampai sekarangpun, aku tak minat mengetahui si abra yang terkenal punya seribu pesona.

"dontok en ta ya, abra kate papasan karo awak dewe." bisik nanda girang.

"aku gak minat tau wajah dia, cerita dari kamu aja gak bikin aku tertarik." ucapku yang terkesan datar membuat nanda menghembuskan nafasnya kesal.

"cewek..." panggil seorang lelaki menghadang langkahku dan nanda. Tapi itu tak membuatku berhenti, tanpa berniat menatap wajahnya aku berbelok menghindarinya membiarkan nanda yang masih mematung sendirian.

Aku memang berjalan dengan menundukkan kepala. Mungkin aku tak pernah tahu wajah para mahasiswa disini kecuali nanda dan para dosen dosenku. Teman sefakultaspun gak menjamin aku kenal dan tahu wajahnya.

Aku akhirnya telah duduk dikelasku,  kukeluarkan hp dan kembali memutar vidio sholawat mas arra yang telah menjadi tontonan wajibku.

"sumpah ya, mau seng nyegat kita itu abra. Ngganteng banget tekan cedek, gak ngapusi...." oceh nanda yang baru masuk kelas dan duduk disampingku.

"maaf nanda sahabatku yang cantik sekali. Aku cukup denger cerita kamu aja deh dari pada tau orangnya." kataku sejenak menatap nanda dan kemudian kembali menatap layar hpku. Nanda mencebik kesal mendengar jawabanku.

"lihat opo se?" tanya nanda mengintip layar hpku, segera kusembunyikan dari nanda. Tak mau memperlihatkan ketampanan suamiku kepada yang lain. Enak saja kalo nanda sampai suka.

"pelit." ejek nanda.

"biarin." balasku menjulurkan lidah.

"elek, gondrong, brewokkan, ketok tuwek pol. Jangan jangan bapak mu ya." nanda menatapku selidik.

"enak aja, ini itu..." belum sempat kujelaskan ke nanda dosen sudah masuk. Membuatku menghentikan ucapan dan kembali menatap kedepan. Memang disini semua belum ada yang tahu tentang statusku yang masih sebagai istri kecuali keluarga pakde rizal, tapi itu juga menurutku. Karena selama aku tinggal dirumah pakde rizal tak ada yang pernah membahas tentang rumah tanggaku.

Ditengah penjelasan, hpku bergetar. Mataku terbelalak menatap layar hpku, mas arra mem vc ku. Segera aku bangkit dan izin kebelakang, berlari keluar mencari tempat yang sepi.

"assalamualaikum." salamku setelah menerima vc. Tapi yang nampak dalam layar mas arra hanya gelap, tak jelas. Tak kunjung ada jawaban dari mas arra, hanya ada suara kemresek tak jelas. Padahal aku sudah deg degan, sampai panas dingin tubuhku.

"mas arra..." panggilku masih mencari sosok suamiku dalam layar hp. Tapi tak ada balasan apapun, kucoba salam lagi dan memanggil manggil nama mas arra, tapi tetap tak ada jawaban. Sampai lima menit, baru terdengar suara mas arra.

"waalaikumussalam, neng. Maafkan saya, saya salah pencet." ucap mas arra cepat sebelum memutuskan sambungan telfonnya.

Kalian tau? Rasanya sungguh sakit sekali sesuatu dalam dadaku. Salah pencet katanya? Ini seperti sebuah permainan, sungguh aku telah senang sekali tapi ternyata ini hanya slah pencet? Dan kurang ajarnya kenapa harus air mataku turun.

Tubuhku rasanya lemas, berusaha kuhapus air mataku tak mau ada orang yang melihat. Tiba tiba sebuah tangan menyodorkan sapu tangan didepanku. Kuhapus bersihkan sisa air mataku dan segera mendongak.

Sungguh, aku terbelalak kaget melihat sosok didepanku yang sangat tampan dan keren, layaknya anak remaja zaman sekarang. Kulitnya putih bersih, rambutnya climis, walaupun hanya mengenakan kaos dia terlihat sangat tampan. Tapi matanya? Sungguh aku sangat mengenalnya. Itu...

"dont cry cantik." suara laki laki didepanku yang membuatku semakin kaget.

Jelas aku sangat kenal mata dan suaranya, tapi penampilannya? Tak mungkin bila dia adalah mas arra.

"mata lo indah, sayang buat nangis." ucapnya yang membuyarkan lamunanku.

Segera kuucapkan istighfar, dan membuang jauh prasangkaku. Tidak mungkin laki laki didepanku adalah mas arra. Mas arra itu gondrong, brewok, santri dan matanya menenangkan. Sedangkan laki laki didepanku terlihat brandal, rambutnya seperti model masa kini, wajahnya bersih tanpa brewok, matanya menatap menggoda dan tutur katanya sama sekali tidak lembut seperti mas arra.

"maaf." ucapku segera melangkah pergi meninggalkannya.

"nama lo siapa? Gue atta abraham!" teriaknya yang masih dapat kudengar dengan jelas. Aku terus melangkah mengabaikan teriakan laki laki yang mengaku bernama atta abraham.

Aku kembali kekelas dan duduk dikursiku. Kutundukkan kepala diam memperbanyak istighfar dalam hati, berusaha memepertebal iman. Aku tak mau peristiwa alnord terulang kembali.

Aku tak mau terperosok kedalam kemaksiatan lagi. Tak perduli seberapa tampan cowok bernama atta abraham tersebut, tapi mas arra lebih tampan hati dan akhlaknya. Aku tak boleh jatuh kelubang yang sama, dari luarnya saja dapat dilihat dengan jelas bila atta abraham bukanlah muslim yang taat seperti mas arra.

"kamu baik baik aja ya?" tanya nanda membuatku tersadar. Aku segera tersenyum dan menganggukkankan  kepala sambil kembali fokus ada dosen didepan.

"aku gak iso fokus ket mau." kata nanda berbisik.

"kenapa?" tanyaku tanpa memandangnya, hanya sekedar menghormatinya biar tak dianggap kacang.

"kelingan abra pas nyegat tadi." jawab nanda.

Kuhembuskan nafas pelan, lagi lagi abra? Seberapa tampan sih abra? Apa dia jauh lebih tampan dari atta abraham?....

Astaghfirullahaladzim... Kenapa aku malah jadi mikir si brandal atta abraham itu? Kenapa juga aku bandingin ketampanannya? Buang atta abraham, jangan dimasukin keotak. Bagaimnapun aku perempuan normal yang suka kepada lelaki tampan, tapi aku janji tak akan berhianat lagi sama mas arra. Aku akan tetap mempertahankan mas arra.


siapa pemilik tulang rusukku? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang