5

54 10 14
                                    

Semakin hari abra semakin gencar menggodaku. Membuatku semakin malas untuk berada dicampus.

Dan sekarang seperti biasa aku menunggu kelas sambil duduk dikantin menjadi pendengar setia nanda. Tapi aku diam diam murojaah surat arrohman dalam hati, agar nanda tak merasa kukacangi.

"ya, pean tenanan gak risih karo aku seng cerewet ta?" tanya nanda menatapku.

Aku terdiam bingung menatap nanda. Dia kemudian menunduk sedih. Kuhembuskan nafas pelan sambil perlahan memetar tubuhku menghadap nanda, memberinya senyuman simpul.

"jangan mulai lagi deh, nda."  gerutuku karena akhir akhir ini ia sering bertanya seperti itu kepadaku.

"hai, cantik.... Makin cantik aja." puji abra yang kini telah berdiri disamping meja kami sambil agak memebungkukkan badannya menatapku.

"hai ganteng, makin ganteng aja sih." balas nanda membuatku menatapnya tak percaya. Kuputar bola mataku kesal, entah kenapa sekarang mood ku sangat jelek.

Aku segera bangkit dan menarik tangan nanda yang sedang senyam senyum menikmati wajah tampan abra. Untungnya nanda pasrah mengikutiku, walau ia sambil melambai lambaikan tangan, say good by kepada abra. Yang aku rutuki dalam hati sekarang, kenapa abra selalu muncul. Apalagi dia memang sangat tampan.

"ya, ulya." panggil nanda sambil menarik tanganku. Akhirnya ku berhenti dan melihat nanda.

"pean aneh, aku temenan bingung karo pean. Onok opo sak jane?" tanya nanda ngos ngosan.

Kuhembuskan nafas perlahan sambil melepaskan tangan nanda.

"aku gak suka sama abra." jawabku lemah.

"edan!" ucap nanda kaget.

"wong ngganteng tenan koyok ngono gal seneng?" nanda menggeleng gelengkan kepala.

Aku perlahan diam, memang abra sangat tampan. Tapi justru karena ketampanannya itu aku selalu berusaha menjauh darinya, ditambah sikabnya yang menyebalkan.

"percuma tampan wajah kalo pekertinya gak tampan juga." elakku.

Lagian juga aku memiliki laki laki yang lebih sempurna dari abra dan bila didekatnyapun, aku tak akan mendapat dosa. Malah aku akan selalu dibanjiri pahala. Ya, aki laki tersebut adalah mas arra. Suamiku.

"tapi ya, seng tak bingungi tekan abra. Arek e iku cuek neng kabeh arek wedok, neng pean tok seng ora." kata nanda yang membuatku menatapnya bingung.

"trus dikira aku cowok gitu?" ucapku menatap nanda bingung.

Nanda menepuk dahinya.

"lo itu goblok, opo pura pura to? Yo genahe abra iku seneng karo kon." gerutu nanda menekan kedua pipiku gemas.

Aku semakin bingung menatap nanda sambil berusaha melepas tangannya dari pipiku. Yang benar saja, dia tak mungkin suka kepadaku. Abra itu cuma suka menggoda dan mempermalukan ku.

"wes to, ndang di pek pacar kono loh." gerutu nanda.

"tambah pusing kepalaku nda denger bualanmu. Udah aku pulang aja." gerutuku melangkah menjauh meninggalkan nanda.

"aku gak ngapusi yo." teriak nanda.

"terserah. Absenin ya." balasku.

Aku terus melangkahkeluar kampus. Abra benar benar suka sekali membuat keplaku tambah merasa pusing.

Aku berdiri ditrotoar mengunggu angkutan umum. Kupandangi terus kesebelah kanan mencari angkutan yang akan membawa ku pulang. Tapi tiba tiba sebuah mobil sedann putih berhenti tepat didepanku, membuatku sedikit kesal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

siapa pemilik tulang rusukku? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang