☕ Bab 1

51 11 0
                                    

SKYE

Satu hal yang paling kusukai dari langit adalah di belahan bumi mana pun kita berada, dia akan selalu terlihat sama. Dia akan memancarkan warna biru dengan awan-awan putih sebagai penghias bila cuaca sedang cerah. Lalu, dia akan terlihat gelap bila malam tiba. Abu-abu akan menjadi warna dominannya ketika mendung. Tidak seperti bahasa. Ketika kita berpindah lokasi, bahasa yang digunakan bisa berbeda. Bila tidak memahami apa yang mereka ucapkan, kita pun mendadak bisu. Begitu juga dengan kebiasaan penduduk setempat. Sekalinya kita bertingkah atau terlihat berbeda, kita bisa tiba-tiba dikucilkan. Akan tetapi, ketika melongok ke atas, kita akan selalu melihat hal yang sama: langit. Sejenak, kita dapat merasakan kita berpijak di bumi yang sama. Bahwa kita tidak jauh berbeda.

Kerap kali aku memandang awan yang menari terbawa arah angin sambil mempertanyakan hal di dunia ini yang berada di luar kemampuanku. Seperti keberadaannya. Sejak kepergiannya, aku sempat menghitung hari. Lalu tiba-tiba, waktu seakan lepas dari genggamanku. Hilang.

Tiba-tiba ketika aku terbangun, aku bukan lagi seorang anak kecil pemarah yang ingin menyumpalkan kerikil di mulut teman sekolah kami. Aku bisa menyambut pagi tanpa merasakan takut. Di waktu bersamaan, ketika aku bangun, aku juga sudah tidak lagi menikmati sejuknya embun pagi. Sapaan pagi dari kokok ayam tergantikan dengan alarm dari ponsel. Saat menyibak tirai jendela kamar, tak lagi kutemukan ribuan daun kering berguguran di sekitar pohon saat musim kemarau tiba, melainkan ribuan model transportasi yang berbaris di jalan protokol.

Keberadaannya menjadi misteri dan akan selalu menjadi misteri. Mungkinkah saat ini dia tengah menyaksikan lapisan garis jingga kemerahan kala matahari tenggelam di kaki langit? Ataukah saat ini sang surya malah sedang menyapanya?

Lamunanku buyar saat seseorang mengetuk meja kerjaku. Sontak aku terperanjat dan menengok ke sumber suara. Edgar—sahabat sekaligus director timku, berdiri di ujung meja dengan satu alis terangkat. Kedua lengan kemejanya terlipat hingga ke siku, memamerkan urat-urat hasil kerja kerasnya tiga kali seminggu di sasana kebugaran. Rambut-rambut halus di lengannya yang terbuka berkilau terkena sinar mentari yang menembus jendela.

"Lagi ngaca?" guraunya. Klasik.

Aku menyipitkan mata, berpura-pura kesal sambil menunjuk ke luar jendela. "Kamu tahu namaku nggak ada hubungannya dengan itu."

Memang, langit dan aku memiliki pelafalan yang sama. Meskipun jika dilihat dari sejarahnya, asal namaku tidak secara harfiah disadur dari langit. Namaku diambil dari pulau kecil di Skotlandia bernama Isle of Skye—pulau tempat kakek nenek dari pihak ayahku berbulan madu.

Pesona pulau itu rupanya terus dibawa oleh Grams—nenekku, hingga wanita itu berikrar untuk menamai anak perempuannya Skye. Sayangnya, Dad adalah anak satu-satunya. Beruntungnya, Dad memiliki anak perempuan, jadinya Grams meminta Dad menamaiku Skye. Beruntungnya lagi, masyarakat kota kecil tempatku dibesarkan tidak familier dengan pelafalan bahasa Inggris, sehingga namaku disebutkan dengan berbagai variasi. Ski, Skie, Skiye.

Pada akhirnya, aku lebih sering dipanggil cah londo, yang berarti orang Belanda dalam bahasa Jawa. Padahal tidak ada garis keturunan Belanda dari keluargaku. Penduduk sekitar memukul rata semua kaumku dengan sebutan londo.

"Sensi amat," balas Edgar.

Belum sempat aku membalas, pimpinanku—Pak Bosco atau kami lebih sering menyebutnya Pak Bos—memanggilku dan mengisyaratkan agar aku mengikuti lelaki itu ke ruangannya. Aku dan Edgar bertatapan sejenak sebelum aku mengekori Pak Bos dengan kekhawatiran yang mendera di dada.

"Skye, kamu tahu kamu adalah aset yang sangat berharga di perusahaan ini. Saya dan perusahaan sangat beruntung punya karyawan seperti kamu," ucap Pak Bos setelah aku diminta duduk.

SanctuaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang