Musim pandemi membuat keadaan ekonomi kami makin terpuruk. Menjadi anak pertama dengan tanggungjawab ibu dan adekku, pada usia masih sekolah bukanlah hal mudah. Sejak kematian ayah setahun lalu membuatku selalu berpikir meringankan kerja ibu yang hanya seorang asisten rumah tangga. Kalau dulunya saat masih sekolah tatap muka, aku bisa membantu ibu, dengan membuat cemilan dan menitipkannya di kantin. Kini semuanya berubah, saat pandemi, apalagi saat aku tahu ibuku berhenti kerja minggu depan karena majikannya pindah ke kabupaten lain. "Oh...," hanya kata itu yang kuucapkan mendengar penjelasan ibu. Hatiku semakin miris ketika melihat ibu berlalu ke dapur sambil menghapus air matanya.
Rasa galau membuatku kacau ketika berjalan membeli beras ke warung, hingga sebuah insiden kecil menyadarkanku kembali kedua nyata. Dua pengendara motor di depan mataku saling bertabrakan, syukurlah keduanya dalam kondisi baik, sehingga setelah berdamai kondisi jalan raya kembali normal. "Ayo Bu, aku antarkan. Rumah Ibu di mana?" kataku menawarkan diri sambil membereskan barang seorang pengendara yang masih syok. Aku mengambil alih motor dan mengantarkan ibu tersebut sampai depan rumahnya.
Mataku membulat menatap halaman rumah Ibu yang dipenuhi berbagai tanaman hias yang lagi viral, diantaranya aglonema yang setara dengan harga beras yang kami konsumsi di rumah selama 4 bulan. "Ini apa Bu?" kataku menunjuk beberapa karung yang terbungkus. Aku semakin takjub mendengar penjelasan Ibu. Dan tanpa malu menawarkan tanah yang sudah dicampur pupuk kandang. Di belakang rumah terdapat peternakan ayam yang kotorannya hanya menumpuk. Berkali-kali kuucapkan Terima kasih. Berkat bantuan ibu tersebut kami masih bisa makan dengan kerja keras kami. Luar biasa, bahkan kehidupan ekonomi kami semakin membaik dengan memasarkan pupuk kandang tersebut secara online. Dan pada hari tertentu aku bersama adikku ke pantai mencari kulit kerang untuk hiasan pot tanaman hias. Suatu berkah yang luar biasa di saat masa pandemi berlangsung.