Sampai di kamar, aku baru sadar tindakanku tadi drama banget. Drama banget nget nget, kayak di film-film cringe. Aku pun jadi memikirkan tentang Kyle yang sudah menuangkan banyak sekali effort untuk sampai ke rumah ini, tapi malah kutinggal begitu saja. Maka dari itu, kubuat skenario bahwa aku tadi naik sebentar untuk mematikan laptop yang masih menyala, kemudian kembali lagi.
"Tadi kenapa naik, Ti?" tanya Kyle begitu aku sampai. Kyle sudah mengenakan handuk di kepalanya, sepertinya ibu yang mengambilkan.
"Ahaha ... sebelumnya aku kelupaan mematikan laptop, mendadak ingat saat sudah turun, jadi kumatikan dulu," karangku. Aku mulai terbiasa berbohong sejak berinteraksi dengan Kyle. "Jadi, kenapa kau ke sini?"
"Aku masih bingung kenapa tiba-tiba kamu memutuskan untuk tidak ikut," ujar Kyle. "Kenapa mendadak sekali? Ada apa? Zhy dan Rhy pun bingung ketika muncul pemberitahuan bahwa tim kita didiskualifikasi karena ada yang belum menyetor identitas."
"Ah, maaf ...."
"Ada kepentingan seperti apa, sampai-sampai kamu yang sebelumnya super semangat ingin ikut, sampai mundur begini?" Kyle kembali bertanya.
"A-anu, ada acara keluarga ...."
"Ini, Nak, diminum teh hangatnya, biar nggak kedinginan lagi." Ibu datang membawa nampan berisi dua gelas teh.
Kyle mengambil salah satu. "Terima kasih, Tante, maaf merepotkan." Dia menyeruput dengan perlahan, aku mengikutinya.
"Eh, Siti, tadi Ben ke sini, ya?" tanya Ibu tiba-tiba. Aku mengangguk. "Ada ngasih bungkusan gitu?" Kini aku menggeleng. "Dasar, pasti kelupaan lagi dia bawain. Nanti kuteleponlah, Sabtu udah harus ready barangnya."
"Buat acara keluarga, ya, Tante?" celetuk Kyle tiba-tiba.
Aku menelan ludah dengan kasar. Mampus.
Seperti yang kuduga, ibu mengernyit. "Hah? Mana ada acara keluarga, itu obat pesenan temen tante, titip beli sama sepupunya Siti, si Ben. Sabtu kita nggak ada ngapa-ngapain, kok."
"Lho? Kata Siti dia hari Sabtu sibuk acara keluarga."
"Oh ... pasti Siti cari alasan biar bisa malas-malasan, yaa!" Ibu tergelak, menatap ke arahku. "Jangan percaya dia. Sudah, ya, Tante tinggal menyetrika dulu."
Ibu meninggalkan diriku dengan jantung yang sedang dugem karena kebohonganku terbongkar. Memang, berbohong itu tak selamanya baik, aku harus berusaha jadi Siti si jujur lagi.
"Jadi ... kenapa tiba-tiba kamu menghindar?" tanya Kyle setelah sosok ibu menghilang dari pandangan. "Kamu mulai pesimis tidak bisa menang lawan Jhazone? Kita semua pasti berusaha, jangan takut kalah dahulu."
"Bukan mengenai itu, intinya susah dimengerti. Maafkan aku, mohon permaklumannya."
"Tidak mau coba ceritakan padaku?" tawar Kyle. "Teman biasanya suka menceritakan masalahnya, kan?"
Aku menarik napas kesal, mulai malas menjelaskan ini lagi. "Kau nggak akan paham, dari pada aku capek cerita."
"Siapa tahu aku paham, cerita saja," Kyle tetap memaksa.
"Nggak akan, Kyle, ini ada hubungannya dengan nama. Intinya kau nggak akan paham."
"Wah, apa Arvellyn sebetulnya nama musuhmu? Jadi kau takut menggunakan identitas itu ke mana-mana. Ah, pasti kau waktu itu sampai buat akun baru lagi karena akun sebelumnya ketahuan sama si Arvelllyn asli! Kini semua tampak---"
"Bukan," aku memotong. "Lain."
"Jadi kamu harus cerita dulu, biar aku paham," Kyle terus mendesakku. "Ayolah, kita ini kan teman." Dia memberi penekanan pada kata terakhir, seolah-olah itu adalah kalimat pamungkasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Name Shamming
Roman pour AdolescentsEvent Daily Update Pseucom 2020 Genre: teenfiction