"Eh, Kyle," panggilku, ketika kami berdua sedang duduk-duduk saja di kafe dekat sekolah. "Aku ingin bertanya, ya? Tapi jawab jujur."
"Eh ... ta-tanya apa?" Dia tiba-tiba gelagapan sendiri.
"Tapi betulan jawab jujur, lho, ya," aku memperingatkan.
"O-oke ...." Sejenak dia memalingkan muka, sampai akhirnya kembali menatapku. "Aku sudah siap."
"Siap ngapain?"
"Jawab pertanyaanmu."
Aku tergelak. "Ya ampun, ini bukan tes fisika, kali. Nggak usah gugup begitu, kayak mau ditanya apa aja."
"A-aku tahu ...." Mukanya kini agak memerah, aku tak mengerti kenapa. Kafe ini dilengkapi pendingin ruangan, nggak ada panas-panasnya. "Cepatlah, tanyakan."
"Kenapa di Avatar kamu ambil nama Budi Susanto, yang kayak nama jadul banget? Ya, nama jadul nggak jelek, sih, seperti yang kita pernah diskusikan dulu. Tapi kenapa kamu pilih nama begitu? Kenapa kepikiran pakai nama jadul?"
"Oh, mau tanya itu ...." Tiba-tiba mukanya berhenti menegang, dia kembali rileks. "Sebetulnya ada cerita di masa kecil. Jadi waktu masih seumuran empat atau lima, aku sempat berkunjung ke rumah ayahnya kakekku yang pendengarannya sudah melemah. Saat kusebutkan namaku, Ezekyle Allavest Chyaton, beliau malah susah melafalkan, jadi Ejengkel Apes Syaiton."
"PFFFFT!" Aku nyaris menyemburkan minuman yang baru kuteguk, untung ditahan. "Ejengkel Apes Syaiton!"
"Sudah, jangan diungkap-ungkap lagi!" seru Kyle. "Saat melihat beliau dengan lancar menyebutkan nama ayah, aku jadi kepikiran untuk punya nama jadul yang sederhana dan mudah dilafalkan."
Aku sampai lelah mengetawai nama panggilan dari kakek buyut Kyle. Ejengkel Apes Syaiton? Nama macam apa itu, untung namaku mudah dan tidak susah dilafalkan, jadi belum pernah mengalami ini. Aku jadi ikutan penasaran, apa alasan ibu dulu memberikan nama begini, ya? Apa mirip-mirip dengan alasan Kyle memakai nama Budi? Kutanyakan sajalah saat ibu pulang.
Minumanku dan minuman Kyle sudah habis, ini saatnya pulang. "Aku jalan balik, ya, Kyle." Mengangkat tas, yang sebetulnya sudah ringan karena cuma berisi beberapa buku teks. Mungkin tahun depan bakal lebih ringan lagi, kabarnya di sekolah kami mulai bisa mengadakan pelajaran berbasis teknologi, lebih sedikit buku. Akhirnya, bisa seperti sekolah-sekolah lain di ibukota.
"Eh, tunggu Siti. Aku ... pulang bareng, ya?"
Aku mengernyit. "Hah? Bukannya kita nggak searah?"
"Ya ... ingin saja jalan-jalan dulu, toh belum ada siapa-siapa juga di rumah. Nanti baliknya tinggal naik bus lagi."
"Oh, oke kalau gitu. Ayo, jalan."
Dan kami berjalan beriringan menuju rumahku.