3. Jam sepuluh

99 16 6
                                    

Benda ini ternyata betul-betul membuatku ketagihan. Ketika main, aku secara alamiah jadi mudah bersosialisasi. Bisa jadi karena pengaruh nama Arvellyn yang benar-benar bagus, tidak sia-sia memikirkannya sepanjang upacara. Aku melakukan ini semua seperti seorang profesional. Tidak ada rasa tertekan atau kesulitan seperti saat menyandang nama Siti Jubaedah. Memang nama itu berpengaruh besar, ya.

Aku lupa kapan terakhir kali diriku semangat bersosialisasi seperti ini. Bahkan kalau tidak salah, terakhir kali aku bersosialisasi adalah awal-awal masuk SMP. Waktu SD aku belum terlalu terbebani dengan nama laknat ini, masih kuanggap lucu-lucuan.

"Siti!" panggil salah seorang teman akrabku waktu SD. Ketika aku menyahut, dia malah bilang begini, "Ih, aku manggil nenek-nenek penjaga kantin. Nyahut aja kamu."

Di situ aku benar-benar merasa kesal. Satu, jelas-jelas si iblis ini menatapku. Dua, mana mungkin kau memanggil seorang nenek-nenek hanya dengan nama panggilan tanpa embel-embel, sungguh tidak sopan. Akan tetapi di situ aku cuma sebatas kesal dan belum berasa terbebani.

Beda cerita dengan si Lampir, kami tidak akrab sama sekali, tapi tiba-tiba dia menyenggol. Habis itu, dibawa julid ke teman-temannya pula, bagaimana aku tidak kepikiran?

Ish, kenapa dari kemarin aku terus-terusan memberi panggung ke si Lampir, ganti topik!

Sehabis makan malam, seperti biasa aku akan langsung menuju kamar untuk lanjut main Avatar, bisa sampai jam 10 atau 11. Beda dengan diriku yang biasanya, sudah terlelap ketika jarum panjang menunjuk angka 9.

Aku buru-buru menghabiskan nasi dan tempenya, teringat punya janji berbincang dengan Stretho, kenalanku di Avatar. Kami bertemu di forum Pelajar SMA, dia bilang dia suka fisika. Kubilang aku juga suka, bukankah begitu cara menghargai lawan bicara? Lihat, aku yang jarang bersosialisasi ini ternyata punya insting sosial.

"Kamu akhir-akhir ini suka begadang, ya?" di sela-sela mengunyah tempe, Ibu tiba-tiba bersuara.

Aku menelan tempe. "Iya, kenapa?"

"Tugas?"

Aku yang pada dasarnya anak baik dan tidak suka berbohong menjawab dengan jujur. "Bukan, sih."

"Oh ...." Ibu kembali mengunyah. "Jangan sampai kemalaman, loh, ya. Jam sepuluh aja udah cukup, habis itu tidur. Oke, Nak?"

Aku cuma mengangguk. "Iya, Bu."

"Betulan, ya?" 

"Iyaaa!" Aku kembali mengangguk, kembali menghabiskan tempe.

Setelah menyelesaikan makan malam dan cuci piring, aku langsung naik ke kamar. Memasang VR dan headphone, aku kembali terhubung dengan Avatar. Masuk ke aplikasi, karakterku langsung menginjakkan kaki di hamparan padang rumput penuh manusia yang dinamakan Avatar Land.

Banyak surat yang kuterima. Salah satunya undangan berbincang yang dikirimkan Stretho. Aku menerimanya, lalu hamparan padang rumput menghilang, digantikan sebuah ruangan berdinding kuning dengan perabot warna-warni. Ini pasti kerjaan Stretho.

Laki-laki tirus berkulit cerah ini perlu beberapa detik untuk menyadari bahwa lawan bicaranya sudah datang. "Arvellyn! Akhirnya kamu datang!" Diriku masih beradaptasi dengan suara mencicit yang diciptakan aplikasi ini. Semua suara asli dikonversikan menjadi cicitan berfrekuensi tinggi untuk menjaga keanoniman pengguna.

"Begitulah, tadi aku makan malam dulu." Aku nyaris tertawa mendengar suaraku sendiri. "Bagaimana kabar kelas olimpiade fisikamu?"

"Ah, iya! Untung kamu bertanya, aku memang mau menceritakan itu tadi."

"Ceritakan, ceritakan!" Aku meniru metode yang digunakan Jaq saat menarik informasi dari Donne.

"Sebetulnya itu sesuatu yang sangat menyenangkan. Bayangkan, selama dua jam penuh latihan soal fisika. Asyik, kan?"

Aku mencoba membayangkan, tapi malah pusing sendiri. Pada realitanya, aku bukan orang yang suka fisika. Justru waktu SMP aku lebih menantikan bagian biologi. Tapi untuk melanjutkan karakter yang sudah kubangun di sini, kujawab saja, "Wah, iya. Pasti asyik banget."

"Iya, kan! Cuma yang aku kurang suka, adalah bagian mengerjakan soal secara berkelompok. Sampai dongkol diriku menunggui adik kelas yang masih saja menghitung dengan ekspresi bingung, padahal yang lain sudah selesai dari sepuluh menit yang lalu. Mengesalkan, kan?"

"Ya, ya .... Memang bekerja kelompok itu mengesalkan." Kali ini aku tidak sepenuhnya bohong, memang mengesalkan. Terutama di baian orang-orang memintamu mengeluarkaan pendapat di saat dirimu tidak mengerti apa-apa. Bagaimana aku bisa menyimak materi kalau mentalku sudah ditekan duluan karena berdekatan dengan orang, apalagi kalau sekelompoknya sama si Lampir, duh.

"Benar, kan! Yang seharusnya kita bisa maju lebih cepat, malah dihambat orang lain."

"Hmm ... iya." Sebetulnya aku merasa tersinggung mendengar kalimatnya barusan, aku yang jadi beban, sih, karena tidak mengerti-mengerti.

"Anyway, bagaimana kalau kita lanjutkan topik yang tertunda kemarin?"

Aku mulai gugup. "Yang mana, ya?" Untung ekspresi mukaku yang asli tidak kelihatan di proyeksi Avatar. Kalau tidak, bisa-bisa Stretho ilfeel duluan melihat mukaku yang terlihat seperti menahan berak.

"Tentang penemuan wormhole dua hari yang lalu itu, lho! Katamu ini salah satu topik favoritmu juga, kan. Aku benar-benar ingin mendengar dari perspektifmu mengenai fenomena ini."

"O-oh. I-iya, ahaha, tentang womhol, ya ...." Seperti yang bisa diduga, aku berbohong masalah tertarik dengan si womhol-womhol ini, mendengar saja baru waktu ini.

"Ceritakan, ceritakan!" Sekarang malah dia yang mencuri teknikku.

"Uhm ...." Aku bingung harus bilang apa.

Stretho tampak menunggu dengan sabar, dia belum menyela lagi.

"Eh, sepertinya aku mendengar suara ibuku ... memanggil-manggil ... dari bawah! Ya, ibuku memanggil-manggil dari bawah! Aku harus segera turun."

"Oh, begitukah?" dia kedengarannya terkejut. "Segera kembali ya ...."

Aku segera keluar dari ruangan, kemudian memblokir Stretho dari daftar teman. Dari sini aku mengambil pelajaran, jangan pernah membual mengenai kau suka fisika kalau tidak mau kesulitan saat ketahuan.

Melepas VR sejenak, aku melihat jam. Ah, bahkan belum setengah sembilan. Masih banyak waktu. Aku kembali memasang VR, dan masuk ke ruangan forum Pelajar SMA. Memang lebih mudah bersosialisasi di sini saja alih-alih ruangan pribadi seperti tadi.

"Itu Arvellyn! Sini, Lyn! Hoooi!"

Nah, kan. Baru masuk saja, aku sudah diserbu begini. Mana mungkin terjadi di dunia nyata. Bukannya diserbu manusia, aku malah diserbu overthinking. Dengan senyum tiga jari---walaupun tidak bisa dilihat mereka, aku memajukan karakterku.

Aku bisa nyambung dengan semua orang di tempat ini sejak hari pertama, secara natural. Enak juga bersosialisasi tanpa beban, segalanya terasa lebih ringan. Ini pasti keajaiban nama Arvellyn, anakku akan kunamai ini.

Tiga jam lebih aku mengobrol. Tepat di jam 12, bagaikan Cinderella yang kehilangan sepatu kacanya, aku berikutnya kehilangan kuasa atas VR-ku. "JAM BERAPA INI?!" Ibu langsung masuk dengan emosi melihat lampu kamarku yang masih menyala jam segini. "Main ini terus sampai lupa waktu. Biar inget sama waktunya, ibu sita aja, ya!"

Beliau merampas hartaku dengan arogan, aku bagaikan Drupadi yang sedang dilucuti pakaiannya oleh Dursasana. Cuma, kalau di cerita Drupadi, datang keajaiban bahwa kainnya tak habis-habis saat ditarik. Aku tidak yakin keajaiban seperti itu bisa datang ke VR.

Name ShammingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang