Salah kalau mengira Haura baik-baik saja. Tidak, dia tidak baik-baik saja. Bagaimanapun Adhyasta sudah menemani hari-harinya selama ini, pasti ada hal yang membuatnya begitu kehilangan.
Ingin memberi kesempatan kedua rasanya berat, karena kesalahan paling fatal menurut Haura ya perselingkuhan. Apalagi ini dengan orang terdekatnya. Mana bisa lupa dia.
Perselingkuhan itu ibarat penyakit, pasti akan kambuh lagi suatu saat nanti. Dan Haura memilih menyelamatkan hatinya daripada harus menjadi korban perselingkuhan di kemudian hari.
Saat sendiri seperti ini, rasanya Haura ingin pergi ke tempat keramaian. Haura tidak ingin saat sendiri itu ingatan akan kenangan kembali bermunculan yang membuatnya sulit untuk melupakan.
Memang seharusnya bukan melupakan tapi mengikhlaskan agar hatinya lebih lega. Tapi untuk saat ini Haura belum bisa merasa ikhlas. Hal tersulit dalam hidup memang mengikhlaskan.
Meskipun bibir mengatakan memaafkan, tapi sebenarnya hatinya belum bisa. Terlalu sakit untuk Haura melupakan perbuatan mereka.
Selain itu juga dia selalu menyalahkan dirinya yang begitu bodoh sampai harus dikhianati bahkan begitu sangat lama, dan dia tidak sadar akan tanda-tanda mereka ada hubungan di belakangnya. Cinta memang membutakan segalanya.
"Huh.." sedari tadi Haura hanya menghebuskan napas beratnya. Dadanya masih sesak, tapi air mata tidak lagi menetes. Cukup sudah seharian kemarin dia menangisi para pengkhianat, tidak seharusnya Haura melakukan itu.
"Rasanya males ngapa-ngapain," menaikkan selimut sampai kepala menutupi seluruh tubuhnya. Bukan karena udara yang dingin, percayalah di luar sana matahari sedang terik-teriknya. Manusia normal mana di tengah cuaca terik seperti ini tapi membalut seluruh tubuhnya dengan selimut.
Setelah tadi selesai perkuliahan sekitar jam 11--kebetulan hanya satu mata kuliah, satu lagi diundur entah hari kapan-- Haura memilih langsung pulang dan menenggelamkan dirinya di dalam selimut.
Mata Haura terpejam menikmati sensasi panas yang menjalar di tubuhnya, juga tetes keringat yang mengalir di punggungnya. Panas kali ini bukan karena demam tapi memang cuaca yang panas dan Haura yang membungkus tubuh dengan selimut, meskipun tidak terlalu tebal tapi kalau saat cuaca sepanas ini tetap saja membuatnya banjir keringat.
Bukan hanya tetes keringat yang mengalir, tapi tetes air mata pun ikut mengalir di kedua matanya yang terpejam. Sungguh, Haura sudah tidak ingin menangisi yang terjadi, tapi kalau mengingat kejadian itu rasa sakit menjalar di hati seolah menusuk-nusuknya. Setiap ia menahan rasa sakit itu, justru sakit yang tak terkira menghampirinya. Untuk mengikhlaskan, rasanya Haura belum bisa. Entahlah, ada sebagian hatinya yang masih tidak bisa ikhlas dengan perlakuan mereka.
Semakin lama tetes air mata itu semakin deras, bahkan isakan pun lolos dari bibirnya. Kali ini saja Haura ingin melepaskan semuanya. Biarkan kali ini Haura mengeluarkan apa yang ia rasa. Esok, Haura berjanji pada dirinya sendiri kalau besok dia tidak akan menangisi hal yang terjadi. Sudah cukup dia menangis mengeluarkan tenaga dan air mata untuk orang-orang yang berkhianat padanya. Begitu esok hari, tidak ada lagi Haura yang cengeng, yang ada hanya Haura yang sudah benar-benar ikhlas dengan semuanya.
🍁🍁🍁
"Ya Allah, gusti! Si neng jam segini malah selimutan?!"
Sayup-sayup Haura mendengar suara seseorang yang ia kenal tengah mengomel padanya.
"Neng bangun hey! Jam berapa ini? Udah salat belum?"
Haura mengernyit begitu sinar menyilaukan menusuk kedua matanya.
"Ibun?" suara serak khas bangun tidur juga kuapan lebar mengiringi pertanyaan serta tatapan yang menyipit pada sang ibu yang tengah berkacak pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret
De TodoPenyesalan. Ya, itu yang dirasakan oleh Haura. Penyesalan atas kisah masa lalunya. Masa lalu yang tak ingin ia ingat lagi. Tapi seolah selalu terus membayanginya. Haura mencoba ikhlas, tapi tetap saja masa lalu itu selalu bercokol di kepalanya. Seti...