Bagian Empat

80 20 21
                                    

"Berbagi kebahagiaan katamu? Chae, kau bahkan tak tahu bagaimana aku mengharapkan keluargaku atau bahkan Hueningkai untuk membebaskan aku dari penderitaan yang memuakkan. Bodohnya aku yang selalu terbuai sikap manis saudariku, bayangan cinta monyet Hueningkai semasa kecil dan berangan kelak aku dengan Hueningkai akan bersatu dan hidup bahagia. Aku bahkan tidak tahu eksistensi nyata dari 'bahagia' yang selalu menjadi bagian sempurna dalam hidupmu. Aku muak denganmu." Raungan dalam hatinya turut menahan jera.

Rene mengokohkan bendungan air mata yang selama ini tahan dengan sempurna dan kembali memberikan senyuman hangatnya sembari menatap obsidian sagara lawan bicaranya.

"Cermin, cermin di dinding. Berikan aku kesempatan untuk membalas pengkhianat sepertinya. Berikan aku kesempatan untuk merasakan kebahagiaan seperti apa yang ia rasakan."

Kesakitan, kekecewaan, keputusasaan, telah meyakinkan hatinya untuk menyambut ajakan cermin ajaib tersebut untuk beralih ke dalam kegelapan. Berkat kehendaknya, remahan roti gandum yang berserakan dalam genggamannya telah berubah menjadi sebuah apel merah atas bantuan cermin ajaib.

"Chae, aku ingin memberikanmu hadiah atas pernikahanmu. Meskipun bukan sesuatu yang luar biasa, namun kesederhanaan ini adalah ketulusanku atas hari bahagiamu kelak...," ia pun mengeluarkan apel merah dari balik kain pakaiannya yang lusuh, "... kuharap aku dapat melihat saudariku mencicipi hadiahku saat ini."

Di detik selanjutnya, Chae meneteskan air matanya. Takjub akan ketulusan saudarinya, ia menyambut apel itu dan memandangnya penuh antusias. "Tentu, terimakasih atas ketulusan Kakak. Bahkan apel ini terlihat ranum hanya dengan melihat kulit merahnya yang berkilau."

Setelahnya gadis itu tanpa ragu menggigit apel pemberian Rene. Tanpa mengetahui bahwa nasib buruk telah menantinya.

Sesaat setelah Chae menelan buah tersebut, ia dapat merasakan sesuatu terasa mengganjal tenggorokannya. Mengunci jalan pernapasannya, membuatnya kehilangan pasokan oksigen. Dengan putus asa, ia menatap Rene sembari menyentuh lehernya yang terasa semakin mencekik bermaksud meminta pertolongan. Ia mencoba bersuara, namun tak ada hasilnya.

Sementara Rene hanya melihatnya dengan tatapan datar, dengan ekspresi yang sulit ditebak. Hingga akhirnya rasa kemenangan tercetak dalam benaknya tatkala Chae menjatuhkan apel yang semula berada di genggamannya dan tak sadarkan diri.
Rene memandang Chae dengan nanar dan meremehkannya. "Cermin, cermin di dinding. Apakah Chae akan bangun?"

"Tentu saja, tatkala seorang lelaki dengan cinta yang tulus dan suci menciumnya. Maka ia akan terbangun, Tuan Putri." Penuturan cermin itu mencetak sebuah senyuman yang memiliki makna tersendiri. Entah, mungkin itu dapat menjelaskan kemenangan yang ia peroleh atau justru hal lain yang sulit ditebak. Namun ia tak peduli bagaimana ekspresinya saat ini.

"Cermin, cermin di dinding. Bebaskan aku, biarkan aku merasakan kebahagiaan yang menjadi bagian kesempurnaan hidupnya. Si Buruk Rupa ini, akan menikah dengan pujaan hatinya."

Tamat.

Tamat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lokawigna | Son Chaeyoung [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang