(Pro-Epi)log

123 25 4
                                    

Pesta panen telah usai, namun antusiasme warga Axious tak pernah surut. Di antara rumah-rumah beratap dan berdinding merah, terdapat tali temali yang menjuntai dan menyebrang dari satu rumah ke rumah lainnya terlihat di jalan besar menuju Kerajaan Axious itu berkilauan oleh bendera-bendera.

Tidak jauh dari pemandangan tegak pegunungan yang mengelilingi sebagian teluk Ambra. Di bawah langit biru yang suram suasana pagi begitu cerah, terlihat sebuah bangunan mewah yang sengaja dibangun oleh tumpukan batu marmer. Dari bangunan itu terdengar sayup-sayup suara yang menggelegar dan berpadu lalu pecah dalam semarak sukacita yang mendentangkan genta-genta.

Sukacita tengah menyelimuti Kerajaan Axious tatkala sebuah janji suci diucapkan sebagai bentuk penyatuan kedua insan. Pangeran Hueningkai, putra mahkota Kerajaan Alaire dengan Putri Chae dari Kerajaan Axious. Pasangan itu beranjak dari kastel Kerajaan Axious--tempat mereka melaksanakan pernikahan--untuk berkeliling ke pemukiman penduduk.

Dalam keriuhan antusiasme penduduk dari kedua kerajaan yang berkumpul pada padang hijau nan lapang, terdengar musik mengalun melewati jalanan pemukiman, timbul tenggelam dan terus menggapai-gapai. Hingga terlihat seekor kuda putih jantan yang ditunggangi oleh Putri Chae yang menggenggam rangkaian bunga mawar merah yang ia letakkan di hadapannya, gaun putih mewahnya menjuntai dan menyelimuti sebagian tubuh kuda itu. Tepat di belakang sang Putri, seorang lelaki berahang tegas dengan setia meletakkan kedua lengannya melingkari pinggul gadisnya sembari memegang kendali atas kuda yang mereka tunggangi.

Mahkota keemasan yang setia hinggap di kepala keduanya seolah saling menyombongkan kilauannya. Kedatangan kedua insan itu bahkan diiringi oleh para kesatria mulia kerajaan.

Sekarang hampir seluruh keluarga kerajaan sampai di padang hijau itu, alunan musik perlahan mulai dihentikan saat satu per satu kuda yang ditunggangi mereka berhenti di tengah-tengah lapang. Seluruh gadis di antara kerumunan itu mulai maju ke depan dengan tertib dan mengedarkan bunga dari keranjang mereka masing-masing dengan wajah berseri-beri.

Sebagai sambutan terakhir, para pemuda kini bergantian dengan gadis-gadis tadi. Bersiap untuk menerbangkan burung merpati putih sebagai wujud doa akan kesetiaan sang Pangeran dan Putri.

Bersamaan dengan angin yang menggertak diiringi gempita genta yang membubungkan burung-burung merpati yang terbang ke udara. Jatuhlah serpihan-serpihan salju yang memahkotai dedaunan sebuah pohon besar nan rindang, yang di tangkainya terdapat buah-buah apel berkulit merah yang terlihat ranum.

Seekor burung gagak tiba-tiba singgah ke salah satu dahannya, membuat salah satu buah apel itu terjatuh dan tergelincir ke tanah. Burung gagak itu hanya menatap buah apel yang jatuh dengan tak minat dan memilih untuk menatap kerumunan penduduk riuh yang terletak sekitar lima meter dari pohon itu berada.

Obsidian burung itu menatap lurus dan bertemu dengan iris coklat yang berpasangan dengan bulu mata lentik milik seorang gadis yang kala itu menjadi pusat perhatian di kerumunan itu. Tanpa diduga gadis itu menyadari eksistensi burung gagak yang jauh darinya dan membalas tatapan burung gagak itu, barangkali ia ingin melakukan telepati dengan burung itu.

Burung gagak itu memiringkan kepalanya sedikit, diikuti oleh senyuman singkat dari gadis itu. Tidak. Sebenarnya itu bukanlah sebuah senyuman, ekspresi itu menyembunyikan sesuatu dalam benak sang tokoh. Entah sebuah rahasia, atau kebenaran yang tersembunyi.

"Kuharap kau bisa bertengger di rambutnya yang hitam seperti sayapmu, atau mencicipi bibir merahnya yang serupa darah, bahkan mematuk kulit seputih saljunya. Kelak kau bisa menghabiskan hatinya yang kokoh layaknya setangkai bunga mawar."[]

"[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lokawigna | Son Chaeyoung [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang