1

73 26 22
                                    

   Pagar tinggi berwarna coklat kehitaman terbuka lebar ketika aku menginjakkan kaki di teras. Tidak kuketahui siapa penjaga rumah. Namun, setiap aku keluar maupun hendak masuk selalu saja sudah mempersilakan dengan sendirinya. Jika belum terbiasa dan seorang penakut, mungkin mengira jika rumahku angker ataupun dihuni oleh makhluk halus. Aku mencoba berpikir dewasa serta menganggap sebagai sebuah kecanggihan. 

Terdapat  sesuatu yang mungkin berkaitan dengan kejadian tersebut. Aku tekankan sekali lagi, rumahku baik-baik saja. Hanya ada aku dan kedua saudara. Mereka sempat menyangka tentang hal-hal mistis. Akan tetapi, aku menegaskan bahwa, itu hanya pemikiran mereka saja. Sama sekali tidak ada makhluk lain kecuali hewan rumahan.

Sebut saja aku Al, Quincy Alianza lengkapnya. Walaupun nama depanku adalah Quincy, panggilan tersebut sudah tak layak kumiliki. Aku bukanlah gadis elegan dengan logat yang elok. Namun, lebih mengarah pada humoris. Dilihat dari cara berpakaian saja, sudah mencerminkan bagaimana karakterku.

Bersiap mengenakan pakaian seperti biasa. Atasan dengan lengan dilipat beberapa kali, rok pendek, jaket jeans melekat pada pinggang, rambut tergerai juga topi yang kupakai terbalik. Satu lagi benda yang aku perlakukan spesial, skateboard pengantar menuju segala tempat.

Sudah jelas dari seragam, aku hendak ke sekolah. Tempat paling nyaman, tetapi kadang kala dibenci banyak orang. Aku pun heran mengapa mereka begitu malas menuju ruang sumber ilmu tersebut. Percaya atau tidak, pelajar adalah pekerjaan paling mudah. Hanya duduk, mendengarkan, memahami lalu mempraktekkan. Tak perlu pusing karena setiap pagi uang selalu datang. Mereka saja yang beranggapan bahwa, sekolah adalah kegiatan membosankan. 

Bisa dikatakan pergerakanku mengayun kaki cukup cepat. Tampak gerbang sekolah yang sungguh sepi. Aku baru ingat bila sekarang adalah hari Sabtu. Tepuk jidat, skateboard  tetap kujalankan memasuki sekolah. Sudah terlanjur basah dan jika pulang, merugikan.

Terkekeh karena mengetahui kebodohan sendiri, tanpa peduli penjaga taman yang tengah membersihkan halaman depan, aku tetap melajukan benda kecil tersebut. Hendak mengitari kawasan sekolah karena aku pikir tidak ada guru sama sekali di sini. 

"Pagi, Neng. Enggak lupa hari, 'kan?" Pak Emir—si penjaga taman—menyapa. 

"Enggak, Pak," jawabku disertai ulasan senyum. "Nanti kalo perlu dibantu kasih tau saya aja, ya? Misal ada yang bilang bapak manfaatin saya, siniin orangnya biar saya tonjok sekalian." 

"Iya, Neng." Pak Emir hanya geleng kepala. 

Mengucap salam kemudian menuju tempat dimana aku menghabiskan waktu berjam-jam. Jika tadi sepi, di depan aula ini justru sangat ramai. Dari penglihatanku siswa-siswi tersebut adalah pengurus OSIS. Walaupun bukan bagian dari mereka, aku tetap bergabung. Lagipula, sebagian besar dari mereka adalah temanku. Sisanya hanya sebatas mengetahui saja. Aku mendekat seraya menyapa dengan smile box yang kumiliki. 

Satu hal yang menyita perhatian. Seseorang yang duduk dengan salah satu kaki menopang sebelahnya juga tengah mengenakan kaos hitam berlengan pendek. Outfit-nya terkesan simpel. Namun, mampu membuat pandanganku tak teralihkan. Aliran darahku terasa lebih deras saat dia tiba-tiba melirik seraya tersenyum menyapa. Aku pun mengembalikan senyum padanya.

Aku hanya menjadi pendengar setia sedangkan mereka membahas tentang perkembangan sekolah. Daripada mati bosan, lebih baik sesekali mencuri pandang pada cowok yang duduk berseberangan denganku. Memperhatikan wajah tampan itu, alis tebal dengan mata sipit ditambah lesung pipi yang samar-samar membuatnya terlihat sangat manis. Sungguh, aku benar-benar takut jika termakan oleh pesona luar biasa yang terlukis dalam dirinya. 

"Al!" panggil seseorang yang membuyarkan lamunanku.

"Ha? Iya, ada apa?" sahutku. Detik selanjutnya ialah umpatan kesal yang aku ucapkan dalam hati. Gadis feminim itu—walaupun termasuk teman dekatku—tetap saja merusak suasana. Terlebih, sekarang dia tersenyum yang kutebak bertujuan meledek. 

Gadis dengan name tag Shendra Ikrimah itu bertanya, "Lihatin apa sampai bengong gitu?"

"Gak liat apa-apa." Aku menggeleng cepat. "Gue pergi, ya, lo lanjut aja rapat negara."

"Eh, tunggu bentar!" Mataku membelalak serta jantung yang berdegup kencang kala mendengar seruan berat tersebut. Aku pun berbalik badan. 

"Shen, jangan lupa catat hasil rapat."

Jika sebelumnya membatin, kali ini aku benar-benar mengumpat. Namun, dengan volume pelan. Berharap cowok itu menahanku pergi. Ternyata, justru memanggil Shendra yang juga beranjak, mungkin saja hendak mengejarku. "Gue balik, Shen. Kalo pulang hati-hati," pesanku lalu melirik sekilas ke arah si tampan. 

Dua tahun bersekolah di SMA Bakti Negara, baru hari ini aku menyadari jika sosok Tenggara Genandra benar-benar menyita perhatian. Termasuk kalangan famous, tetapi bisa dipastikan aku kalah saing dengannya. Tenggara itu baik, cerdas, tampan, manis, dan mengejutkan. Namun, bila bersanding denganku, apakah aku layak? Apa aku sudah memenuhi syarat pantas menjadi pasangan cowok itu? Apa aku memiliki keunggulan untuk bersaing dengan sekian banyak gadis yang secara diam-diam menyukai Tenggara? 

Aku mengayunkan skateboard melewati jalan raya. Mungkin tidak lebih dari 0,001 persen aku akan menjadi yang berhasil singgah mengisi hati cowok mendekati kata sempurna itu. Tidak berharap, hanya saja mulai detik ini rasanya aku benar-benar membuka jalan untuk Tenggara menjadi yang pertama menghuni hati. Bila takdir menyiratkan, apa pun akan aku lakukan. Hendak memikirkan hal lain sedetik saja, aku sampai lupa caranya. Semoga kisahku dan Tenggara dapat semulus lintasan kota. 

 
       










Hai kakak!! Kambek-lah aku setelah sekian lama:v
Gimana ceritanya menurut klean?
Krisar? Welcome banget dah!! Aku akan terima kok👌🏽karena krisar kalian sangat membantuku:)
Avv💜

Ini ceritaku dengan @AdeliaMaysaroh

𝑀𝑌 𝑅𝐸𝐺𝑅𝐸𝑇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang