Gabino Arsa—adik laki-lakiku—membuka pintu rumah sembari memperlihatkan wajah sumringah. Dapat kutebak arti dari rautnya yaitu mengincar skateboard yang aku pegang. Tanpa sedikit pun memiliki rasa kesal, aku memberikan benda berharga itu. Membiarkan Arsa bermain-main dengan dunia luar hingga dia puas.
Aku berdecak kesal karena baru saja mendengar hantaman keras mengenai lantai. Kejadian itu secara tiba-tiba hingga membuatku sedikit terkejut. Tidak perlu menduga atau menimang-nimang, sudah pasti suara tadi berasal dari dapur. Langkahku pasti menuju sumber suara dan benar saja, Laura Alexa tengah berulah kembali menghancurkan tempat tersebut.
"Lo bener-bener harus dibawa ke rumah sakit jiwa, ya," ujarku membuat aksi Alexa yang akan membanting piring terhenti. Masih berjauhan, netraku memperhatikannya dengan tatapan tajam.
Gadis berpakaian pendek dengan rambut acak-acakan itu terkekeh. "Apa! Pergi aja, sana! Lo juga yang udah hancurin hidup gue, Quincy!"
"Gak ada gunanya jadi kakak! Udah cukup lo tambahin beban gue. Satu lagi, berhenti panggil gue dengan sebutan itu. Nama gue Al bukan Quincy!" tegasku kemudian berbalik badan.
"Sejak kapan lo pindah nama, Bocah?" Pertanyaan itu membuatku menghentikan langkah. "Cara itu pun gak bakal ngaruh. Mama yang lo bunuh gak bakal hidup lagi. Papa yang sekarang di rumah sakit jiwa gak bakal langsung sembuh."
Aku terkekeh meski terbesit sesuatu yang menusuk dari ucapan Alexa. "Setidaknya, gue gak cari pelampiasan masalah dengan cara yang salah. Lo beresin semuanya sebelum Arsa pulang. Gue gak mau ada drama episode selanjutnya"
Tidak ada yang aku lakukan selain menuju kamar. Tempat itu sungguh berantakan dan sekarang aku berniat membereskan walaupun ini merupakan kegiatan yang paling aku benci.
"Gimana ceritanya gue bisa nyaman di tempat kayak gini?" gumamku setelah sadar bahwa kamar ini benar-benar berantakan.
Bekas makanan ringan semalam masih berceceran di lantai juga tempat tidur yang seperti sarang burung. Hal itu membuatku semakin kesal ditambah sebelumnya bertemu dengan Alexa, kakak yang tidak mempunyai jiwa seorang kakak.
Seharusnya menjadi panutan yang baik bagiku dan Arsa, tetapi gadis itu berbeda. Terbiasa pulang malam dengan bau khas alkohol yang menyengat di baju. Sama sekali tidak pernah membantu masalah ekonomi, tetapi diam-diam mengambil uang tanpa sepengetahuanku yang dia habiskan di klub malam. Bukannya memberi semangat, dia justru mengingatkanku pada masa kelam. Cukup dia saja yang seperti itu, jangan ada lagi sosok seperti Alexa di dunia ini.
Aku membuang bantal ke arah pintu karena saking kesalnya. Beranjak ke tempat tidur dan membuang jauh-jauh pikiran mengenai kakakku. Tidak ada hasil jikalau terus-menerus memikirkannya. Aku kira, kehidupan baru sepeninggal mama akan menjadi lebih baik. Namun, ternyata jauh dari kata tersebut. Ayah yang justru mengidap gangguan mental dan Alexa yang hanya meresahkan. Tinggal aku yang dapat diandalkan untuk menghidupi Arsa.
"Aku emang egois. Seandainya tanganku gak berulah, pasti mama masih di sini sekarang. Duniaku berantakan."
****
Tatapanku sendu masih memikirkan hal semalam. Saat dimana aku kembali bertemu dengan Tenggara, tetapi di dalam ruangan yang membuatku bergidik geli bila membayangkan. Tidak habis pikir, Alexa setiap hari menghuni tempat seperti itu. Menginjak sekali saja, rasanya aku harus mandi berkali-kali untuk menghindari kotoran tak kasat mata di badanku. Bukan hanya bau menyengat dari orang yang mabuk. Namun, juga dari pakaian mereka yang terlalu memperlihatkan aurat membuatku harus tutup mata sepanjang mencari keberadaan Alexa.
Kakiku berjalan menyusuri tempat yang didominasi lampu disko serta dentuman musik DJ. Dengan terbalut masker dan penutup hoodie, aku memberanikan diri melewati orang-orang yang tengah berjoget ria tanpa memikirkan harga diri mereka. Jika bukan karena permintaan Arsa aku tidak mungkin ke sini. Pantas Alexa terbuai hingga lupa waktu, teman-temannya tidak ada yang bisa dikatakan waras.
"Alexa!" seruku ketika melihat gadis sembilan belas tahun itu tengah memegang gelas berisi minuman bening yang tidak kuketahui namanya.
Mendekat dengan tatapan nyalang, gelas tersebut segera aku banting. Semua tatapan tertuju padaku. Musik belum berhenti dan sklera mataku memperhatikan mereka satu persatu. "Murahan!" teriakku pada Alexa yang tengah berada di dekapan seorang cowok.
Dia tidak membalasku seperti di rumah, melainkan berpura-pura memecah tangis. Meskipun hatiku tersayat, tetap kupaksa untuk bertindak tegas malam ini. Bukan pertama kali Alexa melakukannya. Namun, sudah hampir enam kali aku memergoki dia bersama seorang cowok dengan kondisi yang mengenaskan setelah pulang di pagi hari. Bibir tebal juga penampilan yang acak-acakan. Kupikir kalian paham apa yang dilakukan Alexa.
"Pulang!" Aku menarik kasar lengan gadis itu. "Gak usah bikin drama di tempat kayak gini! Gak bakal ada yang kasian sama lo!"
Tubuh Alexa berhasil aku rebut dari pelukan cowok tidak ber-indentitas tersebut. Berjalan menunduk dengan menyeret kakakku yang sepertinya baru saja mabuk. Malu dan kesal kian bertambah saat di pintu keluar, seorang cowok berjaket hitam tanpa penutup wajah tengah berjalan hendak masuk. Aku semakin merapatkan hoodie, padahal tidak tentu dia menyadari kehadiranku yang menjadi pusat perhatian. Dari perawakan saja, aku mengetahui itu siapa. Dia Tenggara Genandra, cowok yang seharusnya hanya melihat sisi positif dalam diriku.
"Lo kenapa susul gue, Bocah?" lirih Alexa masih dengan keadaan kurang sadar. Tidak ada jawaban dariku. Hanya fokus membawanya masuk mobil.
Aku menggeleng cepat, tidak ingin memusingkan kejadian tadi malam. Sekarang, tujuanku adalah mencari Shendra, Gricel dan Bricia. Sebentar lagi jadwal ekstrakulikuler musik. Tidak boleh tertinggal meski aku sangat lelah dan butuh istirahat. Terlebih setelah ini aku harus bergelut dengan ponsel karena sumber penghasilan ada di dalam sana. "Semangat, Al!" ujarku pada diri sendiri.
Hai!! Krisarnya ka!!
Makasih udah mau baca
Gimana-gimana ceritanya? Seru?
Avv 💜💜 kalian
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑀𝑌 𝑅𝐸𝐺𝑅𝐸𝑇
Teen FictionKesalahan yang kulakukan tanpa sengaja empat belas tahun lalu menimbulkan kekacauan hingga saat ini. Semuanya hancur dan membuatku dirundung rasa bersalah. Hidupku tak sebatang kara, tetapi rasanya segala beban dilempar padaku. Lelah dan pelu...