Kalesang

7 5 0
                                    

Kau tahu tari cakalele? Apa kau pernah melihatnya secara langsung? Atau tidak? Mungkin kau baru dengar nama tarian ini. Cakalele, yang penuh dengan ucapan syukur dan kehangatan, berkembang dari Maluku Utara. Latar belakang tarian ini tidak bisa dielakkan indahnya. 

Oh ya, kau tahu kenapa aku mengetahuinya lumayan banyak? Itu karena aku kenal dengan seorang penari cakalele. Ia berasal dari Desa Gamalama, Ternate. Namanya Belen. Sungguh nama yang indah, bukan? Ini semua tentang Belen, tak ada aku. Sekarang, simak kisah ini baik-baik, karena segala isinya takkan pernah kuceritakan lagi. 

***

Belen bersiap untuk penampilan malam nanti. Gadis itu mengenakan baju putih dan kain tradisional Maluku yang membalut pas di tubuhnya. Tak lupa, merias diri dengan beragam alat yang terdapat di meja. Belen sudah mahir melakukannya, karena memoles diri merupakan salah satu hal penting bagi penari sepertinya.

Gadis berusia 20-an itu sesekali membantu penari yang lebih muda darinya. Mereka tidak berpengalaman seperti dirinya, sehingga Belen harus mengambil tanggung jawab untuk mengurus mereka. Belen yang melatih mereka dari awal, mengajarkan gerakan demi gerakan yang akan ditampilkan. Tanggung jawabnya belum selesai hingga pentas hari ini berakhir sempurna.

"Kak Belen, bagaimana cara memasang ini?" Seorang gadis menghampiri Belen yang sedang menepukkan puff di wajah. Meminta diajarkan memasang kain yang akan membalut tubuhnya. 

Belen berjongkok dan memasangkannya dengan sabar. Ia mengambil seutas tali yang berguna mengencangkan kain tersebut. Lalu ia melipat bagian atas kain ke arah luar, kemudian merapikan kain yang kini sudah terpasang.

"Sudah selesai." Belen tersenyum lebar, apalagi melihat raut wajah gadis di depannya yang juga tampak gembira. 

Belen kembali berkutat dengan alat make-up, hingga gadis itu mendengar suara gaduh di luar. Belen bergegas, dalam hati yang merasa cemas. Merasa takut, jika ada persiapan yang terlewat walau hanya sedikit. Tarian yang akan mereka lakukan bukan main-main.

Pasalnya, saat tarian ini ditampilkan, para roh akan datang menyaksikan. Belen tidak mengada-ada, karena gadis itu melihatnya sendiri. Arwah orang-orang yang meninggal dalam peperangan selalu menyaksikan tarian mereka. Karena itulah, mereka melaksanakan bermacam ritual sebelum tarian ini dimulai.

Belen melihat beberapa orang yang berwajah pucat, membuat kekhawatirannya semakin memuncak. Gadis itu mengenali salah satu orangnya, yang ditugaskan mengambil lenso¹ putih untuk mereka.

"Ada apa?" Belen tak bisa menyembunyikan kekhawatiran. Namun, tak ada yang menjawab pertanyaannya.

Belen mengambil sebuah kotak berisi lenso putih, mengeceknya satu per satu dengan teliti. Tak menemukan kejanggalan, sampai ia melihat lenso terakhir. Wajah Belen berubah pucat, seperti halnya yang lain.

"Apa yang terjadi?" Belen mengangkat lenso putih yang terbakar di satu sisi. Sekali lagi, pertanyaannya tak terjawab.

Belen menghela napas. Sepenuhnya, gadis itu sadar bahwa ini merupakan tanggung jawabnya.

"Tara² apa-apa, kita³ yang akan memakai lenso ini. Tara akan ada masalah, percayalah." Belen memaksakan senyum, meski hatinya pun ragu.

Belen memisahkan lenso itu, kemudian membawa lenso lainnya ke dalam ruangan. Ia menyuruh penari lain bersiap, karena sebentar lagi saatnya tampil.

Alat musik dibunyikan dengan tempo cepat. Belen dan penari lain muncul ke panggung, bersiap mengambil posisi. Mereka menggerakkan kaki seirama tempo musik, sembari mengayunkan tangan bergantian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NYMPH_HUNTER GAMES FINAL ROUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang