PTSD

25 6 0
                                    

Lukanya masih dibalut perban, tetapi Alex ngotot ingin masuk kuliah. Karena hari ini, akan ada rapat pertama tim peniliti fakultas kedokteran setelah sekitar 2 minggu yang lalu dilantik secara resmi.

"Hati-hati.." Ujar ibu ketika Alex mulai berjalan meninggalkan rumah. Alex sempat berbalik menghadap ibu. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah Ibu

Ibu tersenyum membalas lambaian tangan Alex.

***

"Pagi semuanya, saya Leo Nando Pratama. Orangtua saya sangat menyukai Leonardo Da Vinci. Tapi biar terkesan lokal, makanya jadi Leo Nando."

Seluruh anggota Tim Peniliti tertawa mendengarnya. Alex hanya tersenyum tipis. Dia kehilangan selera humor dan keaktifannya karena kepergian Ayah.

"Baiklah, saya merupakan seorang psikiater yang bekerja di rumah sakit Sehat Selalu. Saya akan menjadi guru pembimbing Tim Peniliti mulai sekarang. Karena penelitian kalian bertema "Gangguan Jiwa", maka,
saya yang akan membimbing."

Seluruh anggota tim bertepuk tangan.

"Baiklah, sebelum mulai berdiskusi mengenai bagaimana program kerja kita ke depannya. Saya ingin bertanya." Seluruh anggota terlihat fokus memperhatikan.

"Apakah kalian sudah tahu mengenai PTSD?" Dokter Leo melempar pertanyaan.

"Sudah, dok." Jawab seluruh anggota tim kompak.

"Izinkan saya menjelaskan, ya. PTSD merupakan singkatan dari Post Traumatic Stress Disorder. Itu berarti gangguan stress pasca trauma." Para anggota tim terlihat manggut-manggut.

"Jadi, PTSD dialami oleh mereka yang trauma setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis. Misalnya perang, bencana alam, pelecehan, dsb. Tapi enggak semua orang yang mengalami trauma bisa disebut PTSD, lho ya."

"Sekarang, saya ingin bertanya. Boleh, 'kan?" Ujar Dokter Leo

"Tentu." Hanya Alex yang menjawab. Sebenarnya dia sangat bersemangat dengan topik ini. Karena menurutnya, dia sendiri merasa trauma atas apa yang telah Ia alami. Terkait Ayah dan Bintang.

"Apa yang harus kita lakukan dalam mengobati seorang pasien PTSD?. Aku butuh solusi yang baru. Bukan lagi terapi dan memberikan obat-obatan."

Beberapa murid terlihat mencerna dan mulai berpikir. Ada murid yang berdiskusi dengan teman sebelahnya.

Alex mengetuk-ngetuk pulpen ke mejanya. Dokter Leo mendekati Alex. Mengamati pulpen yang sedang diketuk-ketuk oleh Alex.

"Melihat pulpenmu, sepertinya Kamu pasti tahu jawabannya." Dokter Leo tersenyum pada Alex.

"Hah? Aku..  Um.. Caranya.." Alex takut salah bicara. Dokter Leo pasti orang yang ahli dalam masalah kejiwaan. Bisa dilihat dari tebalnya kacamata yang dikenakannya.

Alex takut salah bicara. Ia jadi tiba-tiba gugup.

"Ca.. Caranya adalah dengan membuat pasien tersebut lupa atas peristiwa itu. Karena dengan melakukannya, pasien itu tidak akan pernah ingat dan kembali trauma atas peristiwa itu." Jawab Alex mantap

Semua yang ada di ruangan bertepuk tangan. Termasuk dokter Leo. Ia bahkan tersenyum pada Alex.

"Tapi Aku tidak setuju." Seorang gadis dengan manik kecoklatan dan setelan biru muda itu memasuki ruangan sambil menebar senyum.

Bintang...  Alex mengerutkan alisnya.

"Masa lalu yang buruk atau yang menyenangkan, atau biasa saja..masa lalu tetap harus dihargai dalam hidup seseorang. Jika kita menghapus masa lalu kita dalam hidup...kita tidak akan jadi diri kita sendiri dan mencapai masa sekarang." Ucap gadis itu lantang di depan para anggota tim.

"Oh iya, ini putriku. Namanya Stella. Dia dari fakultas kedokteran seperti kalian. Dia juga terpilih menjadi tim penelitian di sini." Stella melambaikan tangan. Dia terlihat seperti seorang selebriti.

Putri? Stella? Jadi, dia bukan bintang? Gumam Alex dalam hati.

"Maaf Aku terlambat. Aku sedikit tersesat tadi." Stella menundukkan kepalanya tanda menyesal.

"Duduklah di samping Alex, kita akan lanjut berdiskusi." Sambung Dokter Leo.

Stella segera melangkah ke meja Alex.

"Hai. Boleh aku duduk di sini?" Alex mengamati setiap inci dari wajah Stella. Sama, 100% sama seperti wajah Bintang. Panjang rambutnya tetap sama. Hanya saja, sorot mata milik Stella selalu terihat ceria.

"Oh, tentu." Alex mempersilakan.

Diskusi pun dilanjutkan setelah Stella duduk manis sambil memperhatikan.

"Tanpa terasa, waktu kita telah habis. Karena saya juga harus ke rumah sakit, saya pamit ya. Sampai jumpa semuanya." Dokter Leo segera meninggalkan ruangan tim.

Disusul beberapa anggota lain yang langsung pulang.

"Bye, Stella. Aku duluan." Hampir semua anggota tim mengucapkan itu pada Stella. Dan Stella hanya membalasnya dengan senyum sampil mengangguk.

Aku harus sabar. Tak boleh terbawa emosi. Hanya perlu bertanya dan aku akan tahu yang sebenarnya. Batin Alex dalam hati.

Wajah dan penampilan boleh sama, tapi aku harus menemukan perbedaan lain. Untuk membuktikan kalau Stella bukanlah Bintang.

"Kenapa kamu terlambat?" Alex memulai pembicaraan

"Ah iya, Aku baru pindah dari Amerika. Sekitar satu minggu lalu. Selama seminggu, aku hanya diam di rumah, karena aku sedang berusaha mengingat semuanya. Hehehe. Jadi, Aku tidak keluar untuk jalan-jalan." Jawab Stella

"Oh, jadi seperti itu ya." Ujar Alex. Stella mengangguk mengiyakan.

"Ayahmu, usianya 40-an ya?" Alex bertanya kembali. Dijawab anggukan bintang.

Kalau memang kau adalah Bintang, lalu siapa Dokter Leo?
Batin Alex dalam hati.

Alex benar-benar bingung sekarang. Bagaimana caranya dia bisa mengetahui siapakah Stella.

"Kamu enggak mau pulang?" Stella sudah berdiri sambil menggendong tasnya.

"Ah iya." Alex buru-buru berdiri dan membawa tasnya.

Mereka berjalan bersama.

"Untuk apa kamu ke Amerika?" Alex kembali bertanya saat mereka berjalan pulang.

"Aku harus-hei hati-hati" Kata-kata Stella terpotong. Karena Ia menyelamatkan mahasiswi di sampingnya yang hampir terjatuh karena lantai yang basah.

"Terimakasih" Mahasiswi itu berterimakasih pada Stella.

"Iya, hati-hati yaa." Stella tersenyum manis. Bahkan, bisa dilihat kalau mahasiswi yang baru diselamatkan oleh Stella pun terpesona dengan aura yang dimiliki Stella.

Alex teringat sesuatu. Saat masih kecil, Bintang pernah menyelamatkannya.

"Oh, itu Ayah!" Alex berseru di pinggir jalan. Ia melepas genggaman tangan Bintang yang berdiri di sampingnya.

Alex malah berlari ke seberang jalan tanpa memperhatikan jalan. Bintang segera menarik tangan Alex, menyelamatkannya dari mobil yang melaju kencang ke arah Alex.

Bruk..

Bintang tak dapat menahan keseimbangan, ia terjatuh ke aspal. Siku tangan kanan Bintang robek sehingga Ia harus dilarikan ke rumah sakit.

Iya, jika kamu Bintang, kamu pasti masih punya bekas luka itu.

Bagaimanaa
Sudah punya tebakan siapa Bintang dan siapa Stella itu?
Semoga suka yaa
Maaf kalau ada typo.
Ada yang mau ditanyain?

Is Human? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang