Leo tahu apa yang terjadi pada Lily, terlebih lagi Lily nggak masuk kantor sudah seminggu tanpa keterangan. Laki-laki itu cemas jika terjadi apa-apa pada gadis itu. Mungkin ia akan pergi ke rumah Lily usai selesai bekerja.
"Papi." Sosok pria paruh baya menatapnya serius. "Kapan kamu kenalkan Papi?"
Dahi Leo berkerut, "Maksud Papi apa? Bukannya tanya kabar Leo dulu malah main bilang kapan kenalkan. Kenalkan siapa coba, trus Papi kapan sampai ke Jakarta?" gerutu anak sulungnya sambil memeluk tubuh sang ayah manja.
Bram tersenyum tipis, "Malu deh sama wanita yang kamu kencan itu," goda Papi yang masih belum dimengerti Leo. "Dengan melihat kamu semalam dengan seorang wanita, membuat Papi tak perlu menanyakan kabar kamu lagi, Le," cenggirnya lagi seraya menggoda Leo.
"Maksud Papi apa sih?"
"Terkait wanita, kamu jangan pernah bohongi Papi."
Wanita? Apa yang dimaksud Papi adalah Lily? batin Leo.
"Jadi semalam, Papi lihat kamu booking kamar di Hotel Mutiara dengan seorang wanita."
Lele yang tadinya bingung, jadi tampak berpikir, bisa-bisa Papi salah paham, karena tujuan dia di Hotel Mutiara bukanlah untuk ena-ena, melainkan meeting dengan Nicho. Tetapi karena Nicho yang sinting itu merusak mood Leo, sehingga laki-laki itu tampak frustrasi dan menumpahkan kekesalan pada Lily. Walaupun berujung kekhilafan.
Leo beralih menelpon salah satu pegawainya untuk menyiapkan kopi untuk mereka. "Nicho kurang ajar, Pi," kandasnya.
"Kurang ajar gimana? Nicho bilang ke Papi akan setuju bekerjasama."
"Memang benar dia setuju Pi, tapi dia membuat peraturan sendiri jika ingin pengalihan saham beralih padaku."
"Maksudnya dia minta syarat?"
Leo mengangguk, "Nggak logis banget tuh manusia satu."
Papi tertawa bahak, "Tidak ada yang salah, Le."
Leo mengernyitkan dahi, "Apa Papi tahu rencana Nicho?" Papi menaikkan satu alisnya.
Laki-laki itu mengeram, "Papi!" Yang dilakukan Papi hanyalah tersenyum tipis. "Ngga gini juga caranya buatku menikah!"
"Loh permintaan itu wajar dong untuk Nicho, kamu tahu adikmu itu sangat setia sama kamu, sampai menikah saja tidak mau melangkahimu karena kamu abangnya. Jadi terima saja."
"Bukan gitu Pi, maksudnya." Leo mendengus kesal.
Tok tok tok
OB mengantarkan kopi untuk mereka.
"Bukan gimana, kamu kan punya pacar. Kenapa tidak langsung menikah saja?" kata Papi spontan setelah menyeruput kopi.
Bisa gagal, jika Papi tahu kalau aku nggak punya pacar, batin Leo.
"Pacar gimana? Maksudnya Lily?"
"Oh Lily namanya, dia wanita semalam itu ternyata," goda Papi untuk kesekian kalinya.
"Dia hanya sekretaris--" ralat Leo, "Maksudnya sekretaris sekaligus pacar Leo, Pi hehe."
Ketika usai berbincang dengan Sang Ayah, Leo menuju rumah Lily. Info dimana rumah Lily, laki-laki itu tahu dari Siska, bagian HRD kantor.
Siska pernah ke rumah Lily, tapi Lily sudah tidak tinggal di sana lagi karena alasan yang tidak Siska ketahui, sehingga cewek itu bertanya melalui whatsapp dimana keberadaan gadis itu. Ternyata Lily di rumah kedua orangtuanya di Serpong. Leo juga mendapat info dari Siska bahwa Lily mengundurkan diri dan tidak akan kembali ke kantor.
Info yang diterima dari mulut HRDnya itu membuat Leo semakin penasaran apa yang terjadi pada Lily, apakah gadis itu hamil? Sehingga memilih kabur seperti ini.
Mobil Leo berlabu di sebuah supermarket. Sengaja ingin membeli buah-buahan untuk keluarga Lily. Saat di tempat parkiran, Leo melihat mobil Jazz berwarna merah dengan plat yang tak asing dilihatnya itu terparkir cantik dekat pintu keluar.
Lily sudah selesai belanja, lebih tepatnya hanya untuk membeli test pack. Lily cukup kecewa melihat hasil yang muncul dalam benda panjang itu. Ketika hendak membuka pintu, tiba-tiba seseorang muncul dari belakang. "Sherly Kalistha," panggil pria itu. Lily menoleh ke orang yang memanggil nama lengkapnya.
Mata Lily seraya ingin menelan laki-laki yang tepat ada di hadapannya ini. "Ngapain kesini?!"
"Alasan resignmu tidak logis sehingga saya perlu ke rumahmu dan meminta penjelasan kenapa kamu memilih kabur." Lily melototkan matanya, Leo yang tak tahu apa-apa hanya bisa memasang wajah serius.
"Kabur? Alasan ga logis?" Lily mengulangi omongan Leo, "Terus apa lagi?"
Leo menatap fasilitas mobil kantor yang digunakan oleh Lily, "Mobil ini? Tenang tidak saya bawa kabur, tapi saya masih pinjam untuk hari ini saja. Besok akan saya kembalikan," jelasnya dengan penuh amarah.
"Ada hal lain yang ingin kamu sampaikan?" tanya Leo seraya menampakkan cewek itu.
Lily mengeratkan kepalan tangannya dan menampar Leo. "Prak!" Benda yang sejak tadi digenggamnya terjatuh di lantai.
"Test pack. Kamu hamil?" Leo tidak peduli dengan pipinya yang memerah. Lily menunduk, lalu masuk ke dalam mobil, wanita itu pergi begitu saja dari bassment tanpa sepatah katapun. "Nggak mungkin Lily hamil!"
"A-aku hamil, Ma!" kata Lily ketika yakin ingin membesarkan anaknya seorang diri. Ia takut melihat reaksi Mama selanjutnya.
PRAK
Lily merasakan sakit di pipinya, tubuh wanita itu tak mampu berdiri. Ia tersengkur menangis meminta ampun, "Ma-maaf... Ma." Wanita itu memohon agar Mama tidak marah padanya. "Lily udah kotor, Ma, maafin Lily." Mama menutup mata, seraya menahan emosi.
Setelah pulang dari Hotel Mutiara, sudah seminggu lamanya, Lily sudah tidak menampakkan kaki di kantor. Ia sudah tidak ingin menemui bosnya yang licik itu. Setiap kali merasakan gelap yang dia ingat adalah moment bersama dengan Leo. Sama seperti sekarang, dia merasakan hidupnya benar-benar hancur.
"Siapa?" Mata Mama terbuka, menatap anaknya tajam.
Lily terdiam sejenak antara ragu menjawab pertanyaan maut itu. "Pak Leo, M-ma." Tanpa sadar, dia menyebut nama lelaki bodoh itu. Sial!
BRUK
Pintu kamar dibanting dari luar. Ternyata Mama sudah keluar dari kamar. Kaki Lily bergetar hebat, kakinya berjalan perlahan ke pintu, dia melihat Papa dan Mama sedang berdebat hebat di depan kamar mereka. Lily yakin mereka bertengkar karena kabar dirinya hamil ini. Lily semakin membenci dirinya. Dalam satu jam satu malam di hotel sialan itu, buat masa depannya benar-benar hancur.
"Aku benci lelaki itu."
"Sherly Kalistha!" suara Papa menggelegar, menyadarkan Lily dari lamunan. Tanpa sadar wanita itu menunduk menahan tangisan.
"I-iya, Pa," tangis Lily pecah, takut menatap wajah yang sudah keriput itu. Wajah yang lelah.
Mama mengelus punggung Papa untuk mereda emosi Papa. "Sekarang telpon Leo panggil dia kesini!" bentak Papa untuk pertama kalinya dalam hidup Lily.
Sesaat kemudian, pintu diketuk dari luar. Menampilkan wajah Bi Inah. "Maaf Pak, Bu, Non. Ada tamu."
Bi Inah membuka lebar pintu kamar dan memunculkan wajah Leo. Pucuk dicinta ulang pun tiba, lelaki itu tepat di depan mereka. "Ijinkan saya untuk menikahi Lily pada besok hari."
DEG!
.
.
.
Give me STAR. What do you think about this story? Please comment. Follow instagram (et)fnns766 dan (et)PenulisKelabu_

KAMU SEDANG MEMBACA
My Hot Secretary Lily [TAMAT]
Poesía⚠️CERITA 21+ MATURE DEWASA⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA!! Menikah adalah impian semua wanita, tentunya menikah dengan pria yang mencintaimu dan kamu juga mencintainya. Begitupun pernikahan impian bagi Lily, namun kini impian itu harus kandas saat Lily t...