dua

6.8K 999 46
                                    

"MENJIJIKKAN HENTIKAN ATAU AKU AKAN MELEMPARMU KELUAR" bentak keras Karan saat Tarsa muntah dibelakang sana, hanya beberapa meter lagi memasuki gerbang rumah Karan.
Karan memukul sandaran kursi disebelahnya berulang kali.
"Dasar perempuan menjijikkan" makinya.
"Aku pasti akan mencincangmu setelah aku puas menyiksamu"
Makinya sepanjang jalan memasuki perkarangan rumahnya yang seluas hutan belantara.

Karan memasuki garasi nya yang luas yang penuh dengan berbagai mobil mewah, membanting pintu mobil saat keluar untuk menarik Tarsa keluar dari mobilnya.
Perempuan itu kotor dan bau, berlumuran muntahnya yang menguning.

Karan melemparnya ke lantai, membiarkan di sana, sementara dia masuk ke dalam rumah, disambut Darma si kepala pelayan.
"Di sana ada seorang gadis" tunjuknya ke arah garasi.
"Perintahkan seseorang memBawa dia ke kamar paling ujung. Bersihkan tubuhnya tapi jangan memberinya pakain.
Beri dia makan, dan pastikan dia tidak keluar dari kamar apalagi rumah ini"

Darma mengangguk.
"Baik akan saya suruh Naina" jawabnya kaku, seperti mana penampilannya.
Itulah yang Karan sukai dari Darma yang tak pernah bertanya apa, kenapa, siapa, kenapa atau semua apa lainnya.
Dia sudah bekerja pada keluarga Karan dari puluhan tahun yang lalu, tahu karakter mereka sekeluarga.
"Dan untuk anda sendiri, makan malam sudah terhidang. Jika anda mau, saya akan meminta orang dapur memanaskannya lagi."

"Tidak perlu dipanaskan. Aku sudah lapar" jawab Karan melangkah meninggalkan Darma begitu saja.
Dia berjalan melewati lorong penggubung yang akan membawanya ke rumah utama.

Karan makan dengan lahap, meski makanan tersebut sudah dingin dan kurang enak lagi tapi dia tetap menghabiskan semuanya.
Dari kecil Karan sudah diajarkan disiplin oleh ayahnya tersayang, bahkan jika dia menyisakan sedikit makanan maka Karan harus bersiap dihukum.
Hukuman penuh misteri karena setiap kali cara ayah tercinta menghukumnya berbeda-beda. Dan Karan dipaksa menebak-nebak sesakit apa yang akan dirasanya kali ini.

Begitu selesai makan Karan tidak membuang waktu, dia langsung melakukan olah raga agar makanan yang dimakannya tidak menumpuk di perut saja.
Tubuhnya besar, liat, keras dan berotot dengan cara itu saja takkan ada yang berani memandang Karan sebelah mata.
Dan otaknya yang pintar membuat rekan bisnisnya tak berani main-main dengannya.

Hidup Karan harus sempurna.
Dia melakukan dan meraih semua yang ayah nya inginkan.
Dia tampan, kaya raya, tubuhnya bagus dan otaknya begitu cemerlang.
Tapi sayang untuk mendapatkan semua itu Karan harus kehilangan hati dan senyumnya.

Karan berdiri memperhatikan dirinya, mengusap bekas luka dalam yang membelah dagunya seperti gambar petir.
Luka yang didapatnya saat ayah tau kalau ibu kabur dengan pria lain.
Luka yang semenjak itu mulai menyebar diseluruh tubuhnya karena tidak ada lagi sosok ibu yang melindungi dan menjadi tamengnya.
Luka yang didapatnya seiring dengan kehilangan Lanna.

Mata Karan menyorot dingin saat menatap bayanganya yang bersimbah keringat di cermin.
Pria yang Karan lihat dicermin adalah sosok pria yang tidak pernah tidur nyenyak semenjak dua puluh tahun yang lalu.
Karan takut pada malam, karena membuatnya mengantuk lalu saat dia tertidur dia bermimpi tentang kamar gelap yang lantainya berkilau oleh darah yang memantulkan cahaya bulan.
Karan menghela napas, berharap saat dendamnya tuntas dia bisa tidur nyenyak. Bisa belajar tersenyum dan merasakan bahagia.

Salah satu targetnya, yang Karan pikir bisa menjadi pelampiasan semua dendamnya kini ada tak jauh darinya.
Kapanpun Karan ingin, dia bisa melampiaskan amarahnya pada wanita itu, tidak perlu menyiksa dirinya dalam rasa bersalah ataupun penyesalan.

Dada Karan mulai berat, bayangan sepasang manusia yang terus berlari meninggalkannya terbayang dimatanya.
Amarah membuncah, Karan berbalik, meninju samsak yang hampir sama tinggi dengannya, bertubi-tubi sampai tenaganya habis dan dia nyaris pingsan kehabisan napas.

DENGAN SEGALA PERASAANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang