❝〔 ᴛ ʜ ʀ ᴇ ᴇ 〕❞

1.4K 527 7
                                    

Andai saja aku masih normal, mungkin aku tak akan kabur dari rumah dan menyesali bahwa aku adalah anak ibuku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Andai saja aku masih normal, mungkin aku tak akan kabur dari rumah dan menyesali bahwa aku adalah anak ibuku. Meski wanita itu sering meneleponku dan memintaku untuk pulang—aku tak mengindahkannya demi tetap berjalan pada lorong gelap seorang diri. Merasa tak pantas untuk dimiliki siapa-siapa karena rasa benci pada raga yang kini terpatri sebagai Joo Haknyeon.

Lagi-lagi aku bertemu seseorang dengan nama Sunwoo. Aku bisa tau lewat bau citrus yang semakin ketara kala aku mendekatinya. Kali ini, kami bertemu di minimarket. Sorot matanya tertuju pada belanjaanku—dimana terdapat pisau lipat kecil.

"Itu tak akan membuatmu mati."

Suara dingin itu lagi. Aku benci dengan irama suaranya yang menghakimi tanpa mengerti apapun.

Aku cepat-cepat menyelipkan pisau itu di balik belanjaan yang lain. "Siapa yang bilang aku mau mati?"

"Seluruh gerak-gerik serta indra mu mengatakannya dengan sungguh-sungguh." Sunwoo berujar datar sambil meraup beberapa bungkus mie instan. "Tapi serius, kalau mau mati dengan cara menyayat nadimu prosesnya akan lama. Itupun belum tentu mati."

Aku sudah tak habis pikir. Ini pertama kalinya aku melihat orang yang membicarakan kematian dengan irama sesantai itu. Jika orang lain, mungkin sudah berusaha mencegahku apapun yang terjadi. Ku akui, Kim Sunwoo jauh lebih realistis dibanding manusia manapun yang pernah kutemui.

Keluar dari minimarket aku mencegat Sunwoo dengan cara menarik bajunya. Tanpa sengaja, lengan panjang itu menyingsing dan memperlihatkan bekas luka yang dalam di pergelangan tangannya. Dan hal tersebut berhasil membekukanku.

"Apa? Mau tips cara-cara bunuh diri?" Ujarnya sarkastik.

Aku mencoba untuk bersikap biasa saja meski masih agak terkejut. "Eric temanmu, dia menyuruhmu melepaskan lotus itu dari tasmu."

Sunwoo mengalihkan pandangannya pada lotus merah muda yang terpaut di tasnya tersebut. "Kenapa? Aku suka ini."

Aku mengerutkan kening.

"Aku suka lotus, aku bahagia karena lotus. Di dunia ini, aku adalah manusia paling bahagia. Jika aku melepaskannya, aku tak akan bahagia lagi." Sunwoo tersenyum singkat dan berlalu pergi kemudian.

Aku terlalu jauh berpikir soal arti dari perkataannya sampai aku menyadari sesuatu dari plastik bening bawaan Sunwoo tadi meski agak samar. Sementara Sunwoo sudah pergi lumayan jauh dari jangkauan mataku. Aku segera berlari mengejarnya.

─⊹⊱☆⊰⊹─

Langkahku bermuara pada se-onggok rumah sederhana dengan cat kelabu—yang kuyakini merupakan rumah milik Sunwoo karena aku melihatnya masuk tadi. Aku berhenti mengejar karena menyadari mengapa aku sampai sejauh ini. Padahal aku hanya melihat kilatan pisau di plastik yang ia bawa.

Seorang pemuda keluar dari rumah itu beberapa detik setelah Sunwoo masuk. Ia tak sengaja mendapati keberadaanku yang tengah menatap jengah rumah miliknya. Tentu saja itu aneh bagi orang lain.

"Kau temannya Sunwoo?" Tanyanya. Aku diam saja karena tak tau harus menjawab apa. "Atau kau temannya—"

"Aku hanya lewat." Aku memutar tubuhku dengan batin yang menyuarakan sejumlah dilema secara interpesonal.

Karena tak ingin mengemban aku balik badan dan berjalan menuju pemuda tadi. "Aku melihatnya membawa pisau. Kurasa aku harus memberitahumu."

Pemuda itu terkejut dan berlari masuk kedalam. Sepertinya ini bukan pertama kalinya—dilihat dari reaksi yang orang itu tunjukkan. Aku semakin bertanya-tanya, mengenai kehidupan Sunwoo dan teman-temannya yang berkabut.

TBC

lotus eater ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang