Septuple

14.2K 1.6K 102
                                    

Senandika pulang dengan tergesa, senang karena memikirkan sebuah kesempatan yang sedari tadi dirinya pikirkan.

"Dika! Makan dulu!" teriak ibunya dari arah ruang makan saat merasa sudah lebih dari setengah jam anaknya pulang dan memasuki kamar.

"Iya, Bun! Tunggu bentar!" sahut Senandika setengah berteriak. Anak itu sehabis mandi langsung merogoh saku celana yang ia pakai semalam ke rumah Marco, untuk kemudian menemukan sebuah sapu tangan polos berwarna putih bergaris cokelat itu.

"Yes! Ketemu!" monolognya girang. Ia tersenyum lebar dan menghirup aroma parfum Marco dalam-dalam.

Ia senang dengan hanya memikirkan kalau besok dirinya bisa beralasan menemui Marco karena sebuah sapu tangan yang lelaki itu pinjamkan. Ia akan lebih berhati-hati dalam mendekati si kakak kelas agar kepercayaan Marco bisa ia bangun pelan-pelan.

-

Lagi-lagi habis senang, Senandika langsung ditampar oleh kenyataan. Pikirnya hari ini ia akan sok-sokan mengembalikan sapu tangan yang Marco pinjami padanya, namun realitanya adalah Marco tak ada di tempat lelaki itu biasa duduk di kantin. Bangku itu kosong, bahkan dingin saat Senandika meraba dengan telapak tangannya.

Marco sungguhan tak ke sini.

Lelaki itu cemberut sesaat, tetapi tiba-tiba ia melihat si anak berkacamata yang kemarin ia tanyai ke mana Marco saat kakak kelasnya itu tak datang.

Lantas dengan tergopoh, Senandika berlari mendekati sang kakak kelas berkacamata.

"Kak!" Anak kelas sebelas itu menepuk pelan si lelaki berkacamata, membuat empunya bahu menoleh padanya. "Kak Marco hari ini masuk, nggak?"

Lelaki itu mengangguk untuk menjawab, "Masuk, kok."

"Tapi kok nggak ada di kantin? Dia nggak keluar kelas?" tanya Senandika bingung.

Anak berkacamata itu hanya dapat mengangkat bahunya, pertanda ia pun tak tahu apa-apa mengenai keberadaan Marco. "Tau, dah. Tapi, tadi dia keluar kelas kayaknya."

Senandika mengangguk, lalu berterima kasih. Lalu ia kembali cemberut, berjalan lunglai menuju kelasnya. Nafsu makannya sudah hilang, semangatnya sudah melebur beberapa detik setelah mendengar jawaban anak berkacamata yang lebih tua darinya itu.

Mungkin Marco mengetahui niatannya karena pekikannya di kantin pada jam istirahat kemarin.

Emang dasar bodor banget, Dika! umpatnya dalam hati, kesal akan keteledorannya sendiri.

-

Lebih sial lagi saat dirinya memutuskan untuk kembali ke kelas dan berpapasan dengan Bu Retno.

Wanita lima puluh tahunan itu malah menyuruhnya untuk mengembalikan beberapa buku paket ke perpustakaan saat Senandika menyapanya dengan sopan. Senandika enggan membantu, tapi apa daya dirinya terpaksa karena keformalan dengan sang guru.

Maka dengan bersungut-sungut Senandika menaiki tangga, menuju perpustakaan yang berada di lantai tiga.

"Ini, Pak, titipan dari Bu Retno," katanya sambil menaruh delapan buku paket itu agak keras. Maklum, buku ini lumayan berat, belum lagi karena ia melaksanakan suruhan Bu Retno dengan tidak ikhlas.

Bapak penjaga perpustakaan itu hanya mengangguk ringan, kemudian mencatat nomor yang berada di sampul belakang buku.

"Kalo gitu saya balik ke kelas dulu ya, Pak." Senandika dengan separuh mengangguk sopan berpamitan, yang mana disahut dengan dehaman pelan si penjaga perpustakaan.

Sehabis keluar dari perpustakaan, tiba-tiba Senandika menaruh minat pada pintu besi yang berada di atas. Pintu menuju rooftop yang terbuka sedikit. Ia mendadak ingin ke sana guna mengembalikan mood-nya yang anjlok sedari tadi.

Maka tanpa berpikir panjang, mumpung jam istirahat masih ada lima belas menit lagi, Senandika menaiki tangga menuju atap sekolah yang jarang terjamah. Ia pun membuka pintu itu dengan pelan.

Sesampainya di atas, napas Senandika langsung tercekat saat melihat pemandangan dua orang lelaki yang ia kenal sedang berpelukan erat.

Sial betul jadi Senandika. Yang berusaha mendekati siapa, yang berhasil dekat malah siapa.

Di sana ada Marco dan Ralian yang saling mendekap satu sama lain, membuat Senandika tercengang serta berharap ini hanyalah suatu tipuan dari hal yang ia saksikan sekarang.

Tolong siapa pun katakan bahwa ini mimpi!

Tapi, tak ada yang menyadarkan Senandika sama sekali. Tak ada yang membangunkan Senandika karena memang ia tidak tidur.

Semesta lucu sekali, bisa-bisanya dua lelaki pendiam itu asyik berpelukan, membuat Senandika tertawa miris dalam keheningan.

Setelah puas setengah muak melihat pemandangan itu, Senandika dengan perlahan mundur. Ia pun membanting pintu rooftop dan berlari ke kelasnya di lantai dua dengan hati yang bergemuruh kencang.

Ia marah.

Tapi tunggu, memangnya dirinya siapa berhak marah?

Dan ... kenapa ia harus marah?

Oleh karena itu langkahnya terhenti tepat di balkon depan kelasnya, termenung lagi di tengah keramaian lorong.

Senandika bingung, kenapa responsnya sebegininya hanya karena melihat dua lelaki itu berpelukan? Apa haknya? Kenapa ia marah? Ada apa dengan dirinya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus itu berseliweran di kepalanya. Membuatnya menjadi pening, sungguh.

Apa ia iri pada Ralian yang dengan mudahnya dekat dengan Marco?

Mungkin iya. Tapi, harusnya ia bersyukur 'kan kalau Marco serta Ralian saling menemukan teman—atau mungkin lebih daripada itu—sekarang? Bukannya itu keinginannya, makanya dirinya mendekati keduanya agar mereka tak merasa kesepian?

Senandika mengembuskan napasnya keras. Ia harus berlapang dada kalau-kalau Marco memang tak membutuhkan teman sepertinya dan lebih memilih Ralian yang mungkin lebih baik darinya. Iya, dia harus turut senang karena akhirnya Marco memiliki teman yang mungkin bisa diajak berbincang, bercerita, dan mendengar keluh kesahnya.

Juga, pantas saja Ralian selalu menolak kebaikan hatinya. Ternyata sudah ada yang menemani diri lelaki itu pula.

Maka lelaki kelas sebelas itu menarik napas dalam-dalam dan meyakinkan bahwa dirinya tidak apa-apa.

Ia tak akan berusaha mendekati Ralian serta Marco lagi. Mereka tak membutuhkan dirinya, namun mereka membutuhkan satu sama lain. Ralian membutuhkan Marco menemaninya, pun sebaliknya Marco membutuhkan Ralian.

Senandika yang tak berguna ini tentu saja tak dibutuhkan oleh dua orang penuh rahasia seperti Ralian dan Marco, bukan?

Dan oleh sebab itu, Senandika hanya terkekeh pelan. Menertawakan kebodohan yang ia lakukan.

Ia sudah memutuskan, mungkin ia akan berhenti berusaha menjadi teman Marco maupun Ralian.

Don't waste your time on someone who doesn't appreciate all your effort, right?

><
><
><
>>>Bersambung<<<

Bring Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang