Senandika sudah siap dengan recorder serta alat tulis untuk mewawancara Marco. Anak itu dengan percaya diri berjalan ke kantin sendirian, ia tak mau Marco tahu kalau sebenarnya ia tak benar-benar sendiri. Alana dan Shintya mengawasi—tapi sekarang, kedua gadis itu hanya bisa memantau dari kejauhan. Bermodalkan telepon genggam yang tersambung meski tak saling berdekatan.
Kemudian, Senandika harus menelan kekecewaan di kala meja Marco biasa duduk kosong melompong tak bertuan. Namun, meskipun kosong, tidak ada yang berani menempati kursi itu. Rumor yang tersebar membuat tempat biasa Marco singgahi jadi seolah tak boleh dijamah oleh siapa pun.
Memberanikan diri, Senandika memastikan apakah Marco duduk di sini hari ini atau tidak. Jadi, ia pun mencoba duduk di kursi keramat itu.
Dingin.
Lelaki itu meraba sisian lainnya. Dingin juga.
Senandika mengerti, Marco memang tidak datang ke sini. Di kursi seberang juga tak mungkin, Marco tak pernah duduk di sebelah sana. Marco selalu duduk di kursi yang ia duduki sekarang. Menghadap ke orang-orang seolah mengawasi keamanan.
Setelahnya, Senandika menaikkan pandangannya—dan ia baru menyadari bahwa dirinya dilihati oleh sepenjuru kantin, menjadi pusat perhatian meskipun dirinya berada di pojokan.
Ia melihat bagaimana orang-orang tercengang menatapnya yang berani-beraninya duduk di singgasana milik si terduga anak mafia pembunuh. Singgasana Marco Blackweeds.
Kasak-kusuk mulai terdengar di sekitar Senandika, meliriknya bagai orang yang melakukan tindak kriminal.
"Dika! Kamu ngapain di sana?!" Shintya dan Alana tergopoh-gopoh mendekati Senandika, menyadarkan anak itu agar segera berdiri dari kursi si anak yang ditakuti anak sesekolah.
Para gadis itu menarik Senandika untuk kemudian dibawa ke kursi yang aman, barulah tatapan dan bisikan-bisikan itu menghilang.
"Berani banget kamu duduk di kursi Kak Marco!" pekik Shintya tertahan, tak habis pikir bisa-bisanya Senandika duduk bagai orang gila menguji nyali di tempat itu.
"Iya, berani-beraninya kamu—"
Entah mengapa pikiran Senandika melayang pada si kakak kelas. Meskipun terdengar bahwa Marco biang onar, tapi lelaki itu cenderung disiplin dan rajin di sekolah. Terlihat seperti anak-anak sekolah pada umumnya. Mungkin yang tak mengenal lelaki itu tak akan sadar betapa nama Marco dan dunia gelap adalah sebuah satu kesatuan.
Akan tetapi, begitu-begitu Marco hampir tak pernah absen di sekolah.
"Dika, kamu dengerin kita nggak—DIKA! KAMU MAU KE MANA?"
Senandika berlari ke kelas XII-IPA1, tempat di mana Marco belajar. Ia berlari tanpa mengindahkan seruan kedua teman sekelompoknya yang bawel bukan main itu.
Dengan napas terengah, Senandika melihat kelas Marco yang sudah lumayan ramai mengingat jam istirahat sebentar lagi usai. Sedikitnya Senandika tak percaya bahwa Marco akan belajar di kelas ini. Hey, siapa sangka Marco bisa masuk kelas unggulan yang diisi oleh sekawanan murid penuh ambisi seperti ini?
Lihat saja, sedang di luar jam pelajaran saja banyak yang sudah membaca buku pelajaran. Berbeda sekali dengan kelasnya yang di saat jam pelajaran saja ada yang tidur atau bermain ponsel diam-diam.
"Kak!" Senandika mencegat seorang lelaki yang mau masuk ke dalam kelas itu. "Maaf, mau nanya, Kakak tau Kak Marco ke mana hari ini?"
Lelaki berkacamata itu menatap Senandika heran, mata itu melihat Senandika dari atas ke bawah. Menilai karena tumben-tumbenan ada siswa selain anak kelasannya yang berani mencari teman sekelasnya yang satu itu.
"Sekarang tanggal tiga belas Oktober," ujar si kakak kelas tidak nyambung sama sekali.
"Hah?"
"Marco nggak pernah masuk tanggal segini tiap taunnya."
Aneh, batin Senandika tak habis pikir. "Ada apaan sama tiga belas Oktober, Kak?"
"Nggak tau," kata si lelaki berkacamata sambil mengangkat kedua bahunya enteng. "Emang tanggal segini dia nggak pernah masuk. Ada yang bilang Marco selalu ngebunuh orang di tanggal ini, ada juga yang bilang Marco dilatih jadi mafia. Soalnya besoknya dia selalu babak belur."
Konyol.
Benar-benar alasan terkonyol yang pernah Senandika dengar.
Tetapi, di satu sisi terdengar masuk akal kalau kata membunuh, mafia, dan babak belur itu disertai oleh nama Marco Blackweeds yang digadang-gadang memang dari dunia kegelapan.
Setelah mengucapkan terima kasih, Senandika berjalan meninggalkan si anak berkacamata.
Ia berpikir, mungkin besok dia bisa menanyai Marco si kakak kelas. Karena Senandika berani sumpah, dirinya sudah terlanjur penasaran dengan beberapa sifat Marco yang orang lain ceritakan justru berbanding terbalik sama apa yang dirinya rasakan.
Ia tak merasa Marco orang yang berbahaya meskipun aura intimidasi lelaki itu bukan main, kuat sekali.
-
"Lian, kamu belum dijemput?" tanya Senandika seraya mematikan mesin motornya tepat di depan hadapan seseorang yang duduk sendirian di halte depan sekolah.
Ralian menatap Senandika, kemudian menggeleng pelan sebagai wakil dari bibirnya yang enggan mengeluarkan suara.
"Mau pulang bareng aku?" tanyanya lagi, dan lagi-lagi dijawab dengan gelengan seadanya.
"Ini udah lewat satu jam dari jam pulang sekolah, lho," ujar Senandika berusaha menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli pada si anak introvert itu.
"Kamu pulang sendiri aja," balas Ralian akhirnya. "Aku udah dijemput."
Kemudian tanpa berpamitan, Ralian memasuki mobil yang berhenti tepat di samping Senandika. Meninggalkan Senandika yang hanya tersenyum kikuk seadanya.
Berusaha memaklumi sikap teman sekelasnya yang satu itu, dirinya pun hanya mengangkat bahunya santai dan langsung melajukan motornya ke arah yang tidak biasanya ia lewati.
Senandika tak tahu mengapa hari ini dirinya ingin sedikit jalan-jalan, memilih jalan memutar untuk sampai ke rumahnya dengan motor matic kesayangan.
Sedang asyik bernyanyi sumbang dengan kepala bergoyang, ditemani deru kendaraan yang berjalan di sekelilingnya, tiba-tiba Senandika salah fokus ke supermarket di pinggir jalan seberang.
Tidak, lebih tepatnya ia salah fokus ke lelaki dengan baju santai yang terlihat menenteng kantong kresek kecil berisikan beberapa barang.
Itu Marco, anak yang katanya selalu membolos di tanggal tiga belas Oktober.
Senandika lantas memberhentikan laju motornya, menilik Marco dari kejauhan.
Baju lelaki itu biasa saja, tidak menggunakan jas serta topi aneh dengan kacamata hitam bak mafia-mafia yang biasa ia tonton di film-film.
Wajah kakak kelasnya itu juga masih mulus, masih cakep karena darah Inggris dan Spanyol yang mengaliri gennya. Tiada satu goresan, apalagi lebam seperti yang si kakak kelas berkacamata itu katakan.
Senandika penasaran karena Marco tak terlihat seperti apa yang orang-orang katakan. Maka, Senandika menitipkan motornya ke parkiran terdekat dan memutuskan untuk membuntuti Marco yang berjalan ke suatu tempat, tidak tahu hendak ke mana.
Selama beberapa waktu mengikuti, langkah Senandika terhenti. Anak itu bersembunyi di dekat tiang listrik tatkala melihat Marco yang memasuki sebuah rumah besar bergaya Eropa yang ia yakini adalah rumah si kakak kelas.
Ternyata Marco dari keluarga kaya memanglah benar adanya. Lalu, apa rumor yang lain juga merupakan fakta?
Serius, Senandika memang sekepo itu untuk mengetahui lebih dalam tentang si kakak kelasnya yang menjadi sorotan itu.
><
><
><
>>>Bersambung<<<
KAMU SEDANG MEMBACA
Bring Me Home
Roman d'amourAnak kelas XI-IPS2 kali ini mendapatkan tugas kelompok untuk mewawancara orang-orang berdarah non-Asia di sekolah mereka, untuk mengenal kultur negara barat sana. Beruntunglah beberapa anak di sekolah mereka ada yang blasteran, bahkan asli tanpa dar...