Di ruang latihan tari....
Pemuda itu menggerakan tubuhnya tatkala lagu milik Conan gray berjudul Maniac mulai diputar. Dengan tatapan yang tak sedetikpun teralih dari cermin besar dihadapan, ia masih terus melakukan gerakan indah yang kontras dengan alunan musik. Di akhir lagu, ia merasakan lemas yang luar biasa hingga tubuhnya ambruk dilantai. Dengan peluh sebesar biji jagung yang menguar didahi putihnya, pemuda itu masih berbaring sembari menatap langit-langit, menggumamkan setiap kata yang ia pendam selama ini. Kata yang tak pernah ia ungkapkan secara langsung pada sang ayah, kata yang menjadi bukti bahwa apa yang telah dilakukannya bukanlah sekedar omong kosong, sekaligus kata yang menjadi sangkalan bahwa ucapan ayah nya lah yang selama ini salah.
"Kau lihat itu, Yah? Aku sudah buktikan padamu bahwa aku bisa."
Siapa yang menyangka bahwa pemuda itu sebentar lagi akan menjadi bintang? Setelah sekitar lima tahun lebih ia menjadi seorang trainee di sebuah agensi ternama--dan selama itu pula ia menanggung beban berat sendirian, terombang-ambing dalam segala ketidakpastian tentang apakah ia benar-benar bisa debut atau tidak. Tapi kini, ia sudah membuktikannya bahwa ia berhasil.
Tadi siang, manajer perusahaan memanggil pemuda itu untuk datang ke ruangannya. Memberitahukan bahwa sekitar dua atau tiga bulan lagi, ia akan didebutkan. Lalu ia mendapatkan ucapan selamat dari para trainee lain.
Sungguh, dalam hidupnya, ia tak pernah merasa sebangga ini.
Andai ayahnya masih hidup, ini mungkin akan menjadi hadiah terbesar untuknya.
Drrrtt. Drrrtt.
Suara notifikasi dari ponsel diseberang ruangan mampu menyadarkan lamunan. Ia berdiri dan segera mengecek siapa yang baru saja mengirimkan pesan itu.
Junghwanie♡
Hyung dimana?
Bisakah hyung pulang sekarang?
Ibu baru saja datang dan ia memukuliku lagi.Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat sedetik setelah ia selesai membaca pesan dari adik laki-lakinya itu. Buru-buru ia mengetik pesan lain sebagai balasan.
Hyung akan pulang sekarang. Tetaplah berada di kamarmu dan tutup pintunya rapat-rapat.
Enggan berpikir panjang, disambarnya tas yang berada di sampingnya lantas ia bergegas dari ruang latihan. Raut wajahnya seketika berubah menjadi pucat pasi--menunjukan betapa khawatirnya ia pada sang adik untuk saat ini.Hujan turun dengan sangat deras tatkala ia sampai diluar. Tapi hal itu justru tak menghalangi perjalanannya. Ia memilih berlari kecil menyusuri jalanan yang sudah seluruhnya digenangi oleh air.
Gejolak riuh dari roda-roda kendaraan serta ribuan lampu-lampu perkotaan setia menemani perjalanannya. Ia berdiri di antara kerumunan orang-orang, menunggu bergantinya lampu penyebrangan.
Baru ketika lampu itu menyala, ia menjadi orang pertama yang maju. Sebelum langkahnya kembali terhenti lantaran orang-orang berteriak padanya--yang ketika ia menoleh kearah kanan, matanya justru harus bertepatan dengan sorot kuning dari lampu mobil yang menyala. Sorotnya menyilaukan pandangan, membuat lelaki itu tak kuasa untuk sekedar membuka mata. Jantungnya berdegup kencang seiring dengan kakinya yang mulai melemas.
Demi Tuhan, tak ada waktu lagi.
Mobil itu terus melaju kearahnya dengan kecepatan tak terhitung. Sesuatu seketika memenuhi isi kepalanya, bahwa ia mungkin tidak akan selamat. Lalu tepat pada detik berikutnya,
Suara tubrukan antara mobil dan tubuh si pemuda itu terdengar amat keras--ia merasakan sakit yang luar biasa seiring dengan tubuhnya yang terpental.

KAMU SEDANG MEMBACA
✔When Night Falls || Treasure
Fanfiction𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐏𝐚𝐫𝐤 𝐉𝐢𝐡𝐨𝐨𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐠𝐚𝐥𝐚 𝐦𝐢𝐦𝐩𝐢 𝐛𝐮𝐫𝐮𝐤𝐧𝐲𝐚. ❝𝐈 𝐡𝐚𝐭𝐞 𝐢𝐭 𝐰𝐡𝐞𝐧 𝐧𝐢𝐠𝐡𝐭 𝐟𝐚𝐥𝐥𝐬. 𝐁𝐞𝐜𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐢𝐭 𝐦𝐞𝐚𝐧𝐬 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐈 𝐰𝐢𝐥𝐥 𝐦𝐞𝐞𝐭 𝐦𝐢𝐥𝐥𝐢𝐨𝐧𝐬 𝐨𝐟 𝐧𝐢𝐠𝐡𝐭𝐦𝐚𝐫𝐞𝐬 𝐭𝐡𝐚𝐭...