"Pakailah bajuku dulu, kau boleh mengembalikannya lain kali." Kuletakkan pakaian diatas kasur ketika Yoshinori baru keluar dari kamar mandi. Pemuda itu menginap dirumahku semalam. Aku yang mengajak. Kupikir, barangkali Yoshinori masih dalam keadaan stress. Jadi aku tidak akan mungkin membiarkannya sendirian dirumah.
"Ah, apa kau juga mau sarapan?" Tawarku pada Yoshinori yang kini sedang menuangkan air, "Kalau begitu aku akan memasak. Tidak apa-apa jika aku terlambat datang ke sekolah."
"Jihoon,"
Suara Yoshinori sukses menghentikan langkahku. Aku menatapnya dengan dahi berkerut. Ekspresi pemuda itu terlihat serius. Meski pada akhirnya ia mengalihkan pandangan dengan menatap kosong pada lantai. "Kenapa kau terus bersikap baik padaku?"
Berpikir, aku sempat terdiam mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Yoshinori. "Bukankah jawabannya sudah jelas? Tentu saja karena kau temanku."
"Tapi ayahku telah membunuh ibumu."
Fakta itu, sebenarnya nyaris setiap detik tak bisa lepas dari ingatanku. Aku menghela nafas, berusaha untuk tetap tenang. "Lalu?"
"Jihoon,"
"Yang membunuh ibuku adalah ayahmu, bukan kau. Tidak ada alasan untuk aku membencimu."
Tak langsung menjawab, Yoshinori meneguk habis air minum yang sebelumnya sempat ia tuang. "Kau tahu? Sikapmu yang seperti inilah yang membuatku semakin merasa bersalah. Aku berpikir bahwa mungkin aku adalah manusia paling buruk dimuka bumi. Selama ini, aku selalu menghindar darimu. Kau tahu alasannya apa?"
"Apa?"
"Setiap kali aku melihatmu, bayangan tentang kejadian dulu selalu muncul dibenakku. Saat itu, aku tidak bisa memaafkan diriku. Aku terlalu merasa bersalah sampai-sampai aku marah pada semuanya. Pada kau, pada diriku sendiri, juga pada semua orang. Tapi aku bisa merasakan bahwa kau mungkin baik-baik saja. Hidupmu tidak terlalu buruk, dan itu semakin membuatku benci. Kenapa hanya aku yang seperti ini? Kenapa hanya aku yang merasa dendam?"
Aku tersenyum tipis, lalu berjalan kearah Yoshinori. "Mungkin karena aku sudah terbiasa."
"Terbiasa?"
"Ya. Kau tahu? Hidupku bahkan sudah terlalu buruk sejak hari pertama aku dilahirkan. Mungkin itulah alasan kenapa aku lebih bisa memanfaatkan waktu."
"Aku tidak mengerti."
"Yoshi, kau salah karena telah berpikir bahwa hidupku baik-baik saja setelah apa yang terjadi. Setiap hari-- tidak, tapi nyaris setiap detik, aku selalu berpikir barangkali aku harus mengakhiri hidupku saat itu juga. Tapi segala hal kecil selalu muncul di kepalaku seolah mencegah untuk jangan dulu melakukan itu. Tidak ada yang akan mengurus rumah ini seandainya aku mati, aku juga belum sempat melihat Hyunsuk hyungdebut, dan apa yang lebih penting adalah, bahwa aku belum merasakan apa itu kebahagiaan yang sebenarnya."
Aku sempat menjeda kalimatku sebentar, menghela nafas, lalu kembali melanjutkan, "lagipula, bukankah hidup ini hanya tentang luka? Sesungguhnya manusia tidak pernah benar-benar sembuh dari segala luka yang didapat, hanya saja sang waktu selalu memaksa agar terbiasa."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.