❝ ❬ FOUR ❭ ❞

487 131 19
                                    

"Waktu tidak akan pernah bisa berputar. Jadi, tidak ada gunanya menangisi apa yang sudah terjadi. Kau masih punya banyak waktu, dan semuanya akan baik-baik saja."

Itu adalah serangkaian kalimat yang paling kuingat dari ibu. Saat itu, aku bahkan tidak pernah bisa membayangkan, bahwa kalimat hangat tersebut akan menjadi kata-kata terakhirnya.

Jujur saja, dengan kedatangan Junkyu di flat ku kemarin, justru membuatku sedikit ketakutan. Sudah kubilang--bahwa sebelumnya, selain ibu, tidak ada lagi orang lain yang tahu tentang aku yang bisa melihat masa depan melalui mimpi. Lalu tiba-tiba, Junkyu dan segala kata-katanya sukses mengejutkanku, bahwa dia juga telah tahu. Bahkan Junkyu sempat menawarkan diri untuk bisa membantu.

Ingin aku katakan bahwa selama ini, Aku memilih bungkam bukan tanpa alasan. Melainkan karena aku tak mau jika ada orang yang berurusan dan berakhir sama seperti ibu.

Sungguh, lebih baik memendam luka sendirian ketimbang harus mengorbankan nyawa orang lain.

Sama seperti hari kemarin, hari ini pun Junkyu masih mengikutiku. Pemuda itu tak mau mendengarkan ketika aku menyuruhnya berhenti. Katanya, ia akan tetap seperti itu sebelum aku menceritakan lebih detail tentang mimpiku--sebab Junkyu ingin sekali membantu dan berpikir bahwa ia harus membalasku, karena akulah yang sudah membuatnya sadar dan memilih bertahan sampai detik ini.

Padahal, aku sama sekali tidak pernah mempermasalahkan atau bahkan berharap agar Junkyu membalasku.

Sapaan selamat datang terdengar ketika aku dan Junkyu memasuki sebuah minimarket yang tak jauh dari sekolah. Aku sibuk memilih minuman dilemari pendingin, sedangkan Junkyu tak henti mengoceh tentang apapun sembari memilih beberapa cemilan. Aku juga tak peduli dengan apa saja yang Junkyu bicarakan. Bagiku, apapun yang dia katakan saat ini sama sekali tidak penting. Pemuda itu terlalu berisik bahkan sejak pertama aku kenal dia.

"Menurutmu, lebih baik membeli ini.... atau... ini?" Tanya Junkyu sembari menunjukkan dua buah snack yang berbeda.

Berdecak, aku menjawab dengan malas, "beli saja yang mana yang lebih kau sukai."

"Masalahnya, aku menyukai dua-duanya."

"Kalau begitu beli dua-duanya."

"Tapi,"

"Berhenti mengambil pusing segala hal yang terlalu sepele, Junkyu."

Junkyu langsung memberangut kesal. Lagi, aku tidak mempedulikannya. Hanya berjalan melewati Junkyu dan beralih memilih sesuatu yang lain. Namun, melalui kaca, netraku malah tak sengaja melihat bayangan seseorang dengan gerak-gerik yang mencurigakan ketika aku hendak membuka lemari pendingin yang lain. Aku menoleh kebelakang, mendapati seseorang ber-hoodie hitam lengkap dengan kepalanya yang ditutupi oleh tudung-- yang kini sedang sibuk memasukkan beberapa cemilan pada ranselnya secara diam-diam.

"Jihoon, aku mau bertanya lag-hfftth." Omongan Junkyu terpotong lantaran aku langsung membekap mulutnya. Junkyu memelototiku, menuntut agar aku menurunkan tangan--sebab saat ini, kedua tangan Junkyu juga tak bisa menepisku karena dia sedang mendekap banyak cemilan.

Aku meletakan telunjuk diatas mulutku sendiri, menginterupsi pada Junkyu agar ia tetap diam. Junkyu mengangguk mengerti, aku pun dengan segera melangkah menghampiri si pencuri. Kutepuk bahunya dari belakang dan hal itu sukses membuatnya terkesiap. Dia langsung menatapku dengan pupil yang melebar.

Melalui mata itu, aku pun jadi terkejut sendiri lantaran pada kenyataannya--aku tahu siapa orang ini--sekalipun sebagian wajahnya tertutupi oleh masker.

Dia menepis tanganku, tapi aku tidak tinggal diam. Kurebut tasnya dan dengan paksa menarik pemuda itu menuju kasir, menaburkan berbagai jenis makanan ringan dari dalam ransel ketika kami sampai disana.

✔When Night Falls || TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang