02. Kenyataan yang Bagaikan Mimpi

2.4K 384 13
                                    

Semua ini terlalu mimpi untuk dapat dikatakan sebagai kenyataan.

.

.

.

"Maafkan Papa. Kita bangkrut."

Bagai tersengat listrik, Felis membuka kedua kelopak matanya secepat kilat. Pusing. Laki-laki itu lantas mendudukkan diri sembari memijit pelan pelipisnya yang terasa berdenyut. Mimpi apa-apaan itu tadi?

Matanya perlahan menyusuri ruangan sekitar. Gelap gulita. Rupanya Felis tertidur di ruang tamu. Pantas saja badannya terasa pegal-pegal dan kepalanya pusing.

Jemarinya meraih ponsel yang ada di atas meja. Pukul 03.00. Ketidaknyamanan dan mimpi buruk benar-benar mengacaukan waktu tidurnya. Seketika pandangannya tertuju pada notifikasi Line. Ada sekitar 500 lebih chat yang setengahnya spam dari Manisa.

[MANISa Banget]
Yesterday

22.26
Jangan lupa mandi Pangeran!

22.59
Udah mandi belom nih? Papapapapap!

23.15
Udah tidur ya?

23.30
Sayang :(

23.35
Felisiaaaa

23.40
Yah beneran udah tidur nih
Tumben
Biasanya vn dulu sebelum tidur

23.50
Tapi kamu nggak papa, kan?
Iyalah nggak papa
Gimana sih Manissss
Kalo ada apa2 juga bakal cerita
Ya kan ya?
Ya udah aku tidur duluan ya
Night Pangeran, jangan lupa mimpiin Princess
Saranghae

02.00
Aku kebangun
Mimpiin kamu
Kamu beneran gpp?
P
P
P

Felis menutup dan meletakkan ponselnya ke atas meja tanpa perlu menjawab rentetan pesan itu. Ia tidak sanggup, bahkan untuk scroll lebih jauh lagi.

Memangnya ia kenapa? Apa yang terjadi padanya?

Butuh beberapa saat bagi Felis untuk dapat mencerna semua yang terjadi. Mulai dari apa yang terjadi dan mengapa dirinya bisa sampai ketiduran di sofa ruang tamu.

"Memangnya kenap—"

Seketika laki-laki itu terdiam. Felis mengingatnya, kejadian semalam.

"A-apa?" Felis meneguk ludahnya yang terasa mengental. Untuk sesaat ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang Papa katakan padanya. Namun Felis tahu, ia benar-benar hancur. Hingga kini jantungnya terus berpacu dengan irama tak menentu. "Kita... apa?"

Tarikan di tangannya membuat Felis menurunkan pandangan. Tangan Mama yang menggenggam miliknya terasa dingin, menyuruh Felis untuk duduk dan mendengarkan. Felis boleh tidak peduli pada orang tuanya, tapi selama hidup Felis tidak pernah membantah apa yang mereka perintahkan, selama hal itu baik dan ia sanggup melakukannya.

Felis tak sanggup memandang wajah Papa yang lebam, juga mata Mama yang sembap. Felis memilih menundukkan kepala, memandang sepatu pemberian Manisa di hari ulang tahunnya itu dengan perasaan campur aduk.

Papa berujar lirih, terdengar begitu rapuh dan menyakitkan, "Hari ini toko kita didatangi oleh rentenir yang Papa pinjam uangnya. Mereka membabat habis isi toko, bahkan sempat memukul Papa. Untung petugas keamanan segera datang dan melerai."

Rentenir? Felis mengerjap tak percaya. Papa bahkan tidak pernah bercerita tentang meminjam uang ke renternir kepada Felis. Kenapa? Apakah Felis terlalu kecil untuk tahu tentang masalah ini?

More Than Signal ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang