17. Maaf

1.1K 210 2
                                    

Mama bilang, maaf bukanlah kekalahan, tetapi pilihan untuk menjadi dewasa.

.

.

.

Felis bukannya menyerah, ia hanya tidak tahu bagaimana lagi harus bertindak setelah sekian lamanya jauh dari jangkauan Aurel. Seolah-olah kebersamaannya dengan Aurel selama ini hanyalah halusinasi belaka. Sekali mengedipkan mata, maka Felis akan kehilangan semuanya. Ya, rasanya seperti itu.

Tidak ada lagi yang menunggunya untuk berangkat ke sekolah bersama. Tidak ada lagi yang tertawa bersamanya saat pulang di sore hari. Tidak ada lagi yang menanyakan 'Apa laukmu hari ini?' padanya seperti rutinitas saat jam istirahat. Tidak ada lagi teman penangkap kunang-kunang di atas bukit. Tidak ada lagi yang namanya Aurelia Aurita.

Tidak ada, atau memang ingin terlihat tidak ada. Entahlah. Felis mungkin cukup bisa dikatakan depresi walau kategori ringan. Budi yang sedari tadi berjalan di sampingnya mulai tak tahan. Belasan kali laki-laki itu mendesah melihat betapa terpuruknya teman seperjalannya semenjak beberapa hari yang lalu itu—tentunya setelah Felis dicampakkan oleh Aurel.

Budi menepuk punggung Felis lumayan keras, tetapi tidak membuat si pemilik punggung kunjung berjalan menegak. Ia terus membungkuk, sama sekali tidak takut kalau menjadi kakek-kakek bungkuk betulan. "Yang tegak dong jalannya!"

Tidak ada balasan, kecuali lirikan mata malas. Lagi, Budi dibuat mendesah.

"Kamu itu lho, Fel. Mbok ya cerita kalau ada apa-apa. Aku nanya kenapa kok udah ndak sama Aurel lagi, bilangnya ndak pa-pa ndak pa-pa. Halah, pret."

Felis tetap diam. Telinganya seolah tuli. Kecerewetan Budi tidak ada efeknya sama sekali bagi Felis, seolah temannya itu hanyalah angin lalu.

"Dicampakin Aurel, ya? Aku sih ndak tahu kalian pacaran apa endak. Tapi cerita juga ndak ada salahnya, mengurangi beban."

Dan Felis terus membungkam bibirnya rapat-rapat hingga mereka tiba di rumah masing-masing. Laki-laki itu seperti menghilangkan pita suaranya di suatu tempat.

Budi tidak punya pilihan lain. Laki-laki itu hanya bisa mendesah dan terus mendesah melihat gelagat Felis. Bahkan saat ia melambaikan tangan, Felis tidak membalasnya. Jangankan membalas, Budi saja ragu Felis menyadari kehadiran Budi selama itu di sebelahnya.

Felis berlagak seperti robot yang mesin dalamnya rusak.

***

Pukul 01.30 WIB.

Felis merasa baru mendudukkan pantatnya di atas permukaan batu yang dingin. Laki-laki itu juga baru saja memainkan dua lagu dengan gitarnya secara asal-asalan. Kira-kira hanya beberapa puluh menit sampai Felis menguap lebar. Ia bukannya mengantuk, melainkan bosan. Bosan setengah mati.

Laki-laki itu menatap tempat di sebelahnya yang kosong, tempat yang biasa diduduki Aurel dan toples berisi kunang-kunangnya. Kini, tempat itu kosong. Tidak ada Aurel lagi di sana.

Perlahan, jemari Felis menyentuh permukaan itu. Dingin. Felis menggigit bibirnya kuat-kuat. Dadanya terasa sesak.

Sentuhan itu hanya berdurasi beberapa detik, sebelum Felis memutuskan menarik tangannya dan memasukkannya ke dalam kantong jaket. Laki-laki itu mendesah panjang, sarat akan keputusasaan.

Tak tahan lagi berada di tempat itu, Felis turun dari atas batu dan kembali pulang.

***

More Than Signal ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang