One.

957 101 13
                                    

Tawa dua pemuda yang menempati sofa ruang tengah menggema. Meredam suara televisi yang sore itu masih menyala. Pemuda yang lebih muda sibuk singkirkan tangan yang tak henti-henti menggelitiki perutnya. Berkali-kali ia memohon agar berhenti disela-sela gema tawanya tetapi yang dilakukan pemuda yang lebih tua justru sebaliknya. Ia semakin gencar menggelitiki perut yang lebih muda.

Kegiatan menggelitik itu baru berhenti ketika tubuh yang lebih muda hampir terjatuh dari sofa. Beruntung yang lebih tua gesit memeluk pinggang yang sebelumnya menjadi sasaran empuk untuk digelitik tepat sebelum tubuh itu meluncur bebas bertemu lantai.

“Kak Chan! Kalau aku jatuh beneran gimana?!” protes Minho, pemuda yang lebih muda. Salah satu tangannya yang terkepal melayangkan pukulan ke kepala Chan, pemuda yang lebih tua, yang hanya bisa tertawa sebelum mengeratkan pelukannya pada pinggang yang lebih muda kemudian menyamankan posisi keduanya yang kini berbaring di sofa ruang tengah.

Selama beberapa saat ruang tengah itu tampak tenang. Hanya suara televisi yang masih menyala dan samar-samar kendaraan di jalan raya yang terdengar. Masih di pelukan yang lebih tua, Minho menonton televisi yang menayangkan realitas variety show dimana seorang ayah harus menjaga anak-anaknya tanpa bantuan sang istri. Sementara itu, Chan yang memeluk sibuk menghidu aroma tubuh yang tengah dipeluknya. Sesekali ia curi kecup-kecup kecil yang mengundang kekehan geli dari pemuda yang tengah dipeluknya.

“Min,” panggil Chan setengah berbisik. Satu lagi kecupan ia curi di leher pemuda yang lebih muda.

Hmm?”

I love you,”

I know,”

Kali ini Chan membalikkan tubuh Minho hingga berhadap-hadapan dengannya. Satu kecupan ia curi di ranum yang lebih muda, “I love you so much,”

I know,”

Lagi. Chan curi lagi satu kecupan di ranum yang lebih muda, “I love you more than anything,”

I know,’

Minho mati-matian menahan tawanya ketika Chan untuk kesekian kalinya mencuri satu kecupan di ranumnya, “Do you love me too?” tanyanya yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Minho, “Say it,” titahnya.

Say what?” tanya Minho menggoda.

Say that you love me,”

You already know so why should I say it?”

Cause I want to hear it,”

If I don’t want to?”

“Minhooo…”

Minho tak lagi bisa menahan tawanya ketika Chan merengek memanggil namanya. Sejak dulu Minho sangat suka mendengar rengekan Chan setiap kali memintanya mengucapkan kalimat cinta. Melihat Chan yang merengek meminta Minho mengucapkan kalimat cinta tak ada bedanya dengan melihat bayi yang merengek meminta permen kesukaannya pada sang ibu. Sangat menggemaskan dan tentu saja Minho amat menyukainya.

"Bercanda, Kak, mulutnya jangan dimanyun-manyunin gitu dong," ucap Minho yang justru membuat Chan semakin mengerucutkan bibirnya.

"Habisnya punya pacar nggak pernah mau bilang I love you,"

Minho kembali tertawa. Kedua tangannya kemudian bergerak untuk menangkup kedua pipi Chan yang menggembung kesal sebelum mengambil satu kecupan di ranum merahnya. Hanya kecupan singkat karena kurang dari tiga detik Minho sudah menarik kembali wajahnya.

"I can't say I love you 'cause I know those words will never be enough to describe how I feel for you, Kak,"

Senyum yang begitu lebar terulas kala Minho mengucapkan kalimatnya. Matanya yang penuh binar memancarkan ketulusan yang amat besar. Chan tidak mungkin tidak ikut tersenyum melihat kekasihnya yang begitu indah saat ini. Maka hal selanjutnya yang Chan lakukan adalah menarik tubuh Minho agar semakin mendekat, menarik tengkuknya, dan mencium ranum sang kekasih untuk salurkan rasa cinta yang tak dapat dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Letting You Go - Banginho/MinchanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang