Six.

487 82 65
                                    

Dering ponsel yang tak kunjung berhenti sukses menganggung tidur Chan.

Masih dengan kedua mata yang tertutup, salah satu tangan Chan meraba-raba nakas dimana ponselnya yang masih terus berdering ada di sana. Jika dari deringnya, bukan panggilan telepon atau pesan singkat yang singgah di ponselnya, melainkan pengingat event yang memang diatur khusus di hari-hari penting.

Dering yang teramat nyaring itu baru berhenti ketika Chan menggeser tombol henti. Perlahan tapi pasti, Chan membuka matanya untuk melihat hari penting apa yang membuat ponselnya berdering pagi-pagi sekali.

Beberapa saat setelah pandangan Chan menjelas dan judul event yang tertera di ponselnya terbaca, kedua mata sipit yang baru terbuka itu membola. Chan bahkan sampai melompat dari tempat tidurnya dan melempar benda pipih serba guna kesayangannya ke sembarang arah sebelum berlari menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri.

Di setiap langkah dan geraknya, Chan tiada henti meruntuki diri. Pemuda Bang itu bahkan sesekali memukul kepalanya sendiri yang sudah melupakan hari teramat penting ini.

Hari ini adalah hari peringatan kematian ayah Minho.

Mendiang ayah Minho atau yang kerap Chan sapa dengan sebutan Ayah Lee adalah satu dari kesekian banyak korban kecelakaan kereta tiga tahun silam.

Kala itu Ayah Lee datang mengunjungi Minho yang terkena demam akibat kehujanan. Di hari yang sama, untuk pertama kalinya--dan untuk yang terakhir kali--Ayah Lee bertemu dengan Chan yang malu-malu memperkenalkan diri sebagai kekasih Minho. Masih Chan ingat senyum lebar Ayah Lee ketika menepuk-nepuk pundaknya yang sedikit menegang karena melihat ekspresi Ayah Lee usai ia memperkenalkan diri.

Senyum Ayah Lee sangat mirip dengan Minho. Chan tak lagi heran bagaimana bisa Minho mempunyai senyum yang membuat hari-hari Chan terasa sempurna dan begitu indah hanya dengan melihatnya. Itu semua tak terlepas dari Ayah Lee yang mempunyai senyum serupa

“Terima kasih sudah datang untuk mencintai anak Ayah,” adalah Ayah Lee yang berucap dengan nada yang begitu hangat, “Minho mungkin bukan anak yang sempurna, tingkahnya kadang di luar kepala--terlalu absurd sampai kadang Ayah sendiri bingung sebenarnya Minho itu anak siapa,”

“Ayah!”

Ayah Lee tertawa. Tawa beliau yang kala itu menggema di kamar Minho kini kembali menggema di telinganya, “Ketahuilah Chan, Minho benar-benar bukan manusia yang sempurna, dia hanya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, tapi Ayah percaya dengan kehadiran kamu Minho bisa jadi sempurna, jadi manusia luar biasa. Mungkin kamu sering pusing dengan tingkahnya, tapi Ayah percaya kamu bisa menghadapinya.”

Kala itu Chan hanya bisa mengulas senyum tipis dengan sesekali melirik Minho yang terduduk di atas tempat tidurnya.

“Chan,” binar yang begitu terang Chan temukan di mata Ayah Lee ketika memanggilnya dan berkata, “tolong jaga Minho. Sekaran atau nanti Ayah gak bisa selalu ada di sisi Minho, jadi tolong teruslah berada di sisi Minho, temani dia, ajari dia berbagai hal, jaga dia untuk Ayah. Meski tidak pernah menunjukkannya secara langsung, Minho sesungguhnya mempunyai hati yang begitu rapuh. Minho itu seperti kaca, kuat tapi juga mudah pecah. Jadi tolong jangan sakiti Minho. Kalau ada apa-apa kamu bisa langsung bilang sama Ayah atau Bunda.”

Untuk kesekian kali Chan melirik Minho yang masih terduduk di atas tempat tidur. Dilihatnya Minho yang menunduk dan memainkan ujung selimut yang membalut separuh tubuhnya. Chan temukan kedua telinga pemuda itu yang memerah. Ah, rupanya Minho tersipu. Manisnya.

“Chan,” sekali lagi Ayah Lee memanggilnya dengan senyum lebar yang terulas di wajahnya yang masih begitu tampan, “Ayah sangat merestui hubungan kalian.”

Letting You Go - Banginho/MinchanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang