Chapter 2

228 156 92
                                    

Suara gelak tawa sudah menghiasi rumah orang tuaku dari subuh tadi, kenapa aku menyebutnya dengan rumah orang tuaku?  Karena, aku tidak berhak dan tak pantas menyebutnya dengan kepemilikan ku.

Kali ini aku sudah bersiap siap dengan seragam lamaku. Seragam formal rok hitam dan blezer Hitam dengan biz putih serta kemeja putih yang melekat indah di tubuh ku.

Ku sisir rambut kecoklatan ku yang se bahu serta menaburkan bedak ke wajahku.

Aku merasa puas dengan polesanku, natural dan alami.

Aku keluar dari kamar dan menuju lantai bawah untuk sarapan, mataku melihat keluarga ku yang sedang merayakan sesuatu. Aku melihat sebuah kue ulang tahun diatas meja itu yang sudah tinggal setengah potongan, aku lupa kalau hari ini kakak ku ulang tahun.

Ku langkahkan kakiku menuju meja makan, sampai disana mareka menatapku seperti biasa tidak peduli dan masa bodoh. Semuanya kembali sepi, ini yang aku benci disaat aku datang semua kembali sepi dan kembali ke kegiatan masing masing.

Aku duduk di depan ayahku yang sedang menyeruput kopinya,

"Rabecca, ayah dengar sekolahmu akan mengadakan perlombaan robotik di museum Rusyclyn.Apakah itu benar?" tanya ayah.

Kakakku sepertinya lebih mementingkan handphonenya di banding ayah, lihatlah sekarang tangan kanannya memegang roti dan tangan kiri nya memegang ponsel.
Cih, aku berharap dia salah mengambil roti, dan mengambil kopi agar tangannya melepuh.

"Rabecca ayahmu bertanya loh sayang, masa di cuekin," tegur ibu.

"Eh apa tadi ya?" tanya Rabecca sambil meletakkan ponselnya di samping meja.

Ayah menghela nafas."Kamu itu ya, kalo kita lagi ngumpul ponsel mu tolong di simpan dulu."

"Iya ayah, maafin Becca," ujarnya dan membuat wajah seimut mungkin.

"Apakah sekolah mu benar akan mengadakan perlombaan robotik di museum nanti?" ulang ayah.

Dia tanpak berfikir, "Oh itu, iya yah kata kepala sekolah bakalan diadakan.tapi kalau utusan dari sekolah Bella sih gtau siapa yah, emang kenapa yah?"

Ayah melipat pergelangan bajunya dan menyeruput kopinya kembali, setelah itu meletakkannya kembali.

Ayah berdehem, "Ayah akan jadi juri di sana, apakah kau lupa ayahmu ini seorang ilmuwan Rabecca sayang," ujar ayah lalu tersenyum hangat kepadanya.

Aku benci disaat kakakku mendapatkan perhatian, sedangkan aku dan adekku selalu menjadi bahan yang terasingkan.

Aku perlahan lahan memakan nasi goreng buatan ibuku, walaupun mareka tidak memberikan kasih sayang kepadaku. Setidaknya mareka menganggapku sebagai tamu di rumah ini. Aku tidak pernah di beri uang saku oleh ibuku dan ayahku.

"Eh autis, gue denger sekolah lo ada masalah lagi, umm masalah Seks ya?" ujar Rabecca.

Dia menelisik tubuhku dari atas sampai bawah, dan aku tau apa yang akan dia ucapkan.

" Apa lo masih perawan? Gue pikir enggak lagi deh."

Jackpottt

Sesuai dugaanku, dia pasti mengatakan ini.

Orang tuaku menoleh kepadaku dengan kerutan dahi yang terlipat jelas.

Aku mengambil sebuah kertas kecil di kantongku yang selalu aku bawa kemana mana, dan menulis sesuatu di sana.

"Hehh lo jangan kek orang bisu bisa gak? Lo tuh cuma autis, sakit mental bukan bisu. Lo tuh masih bisa ngomong, jadi jangan mempersulit keadaan hidup deh, gue aja ogah menyebut lo adek gua," geram Rabecca.

Suara EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang