Bagian 2 : -Asistensi-

6K 972 48
                                    

Some madness doesn't act mad to begin with, sometimes it will knock politely at the door, and when you let it in, it'll simply sit in the corner without a fuss - and grow.

-Nathan Filer, The Shock of the Fall-

"Saya tidak mengerti, Kinan," ujar pria yang duduk di seberang kursinya seraya menghela napas pasrah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saya tidak mengerti, Kinan," ujar pria yang duduk di seberang kursinya seraya menghela napas pasrah. Pria itu lalu membuka kacamatanya, menggosok-gosok kedua matanya yang lelah, sebelum kembali mengenakannya dan mulai memeriksa gambar Kinanti dari awal.

Semua orang sudah bubar dari ruang studio perancangan ini hampir satu jam lalu. Meninggalkan Kinanti berdua saja dengan pria, yang jujur saja, mulai membuatnya tidak nyaman. Sebenarnya ini juga salah Kinanti yang lelet menyelesaikan gambarnya sehingga mendapatkan urutan paling belakang untuk asistensi.

"Ini studio perancangan yang terakhir. Sudah dua puluh SKS kamu ambil! Tapi mengapa, setelah enam semester berlalu, hasil kerjamu tetap tidak mengalami peningkatan. Konsepnya sama sekali tidak nyambung dengan gambar yang kamu buat di atas kertas! Apa bahkan kamu tidak tahu apa artinya konsep? Apa perlu kamu kembali ke semester satu!" cecar pria itu kejam. Di sisi lain, mata gelapnya tetap fokus memindai kertas A3 hasil gambar Kinanti. Tak lama kemudian pria itu menggelengkan kepala sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas gambar Kinanti.

Kinanti yang sedari tadi menahan napas sembari menggigiti bagian bawah bibirnya dengan gugup, lagi-lagi harus menelan kekecewaannya. Tidak mungkin jika ia gagal kali ini. Kinanti cukup percaya diri dengan gambarnya setelah sebelumnya meminta bantuan Nika untuk memeriksanya.

"Coba tolong jelaskan lagi konsep bangunan yang kamu buat ini karena jujur saja saya tidak paham?" tanya pria itu enteng.

Kinanti terbeliak, tidak mengerti apa yang sebenarnya pria itu inginkan. Padahal sejak tadi Kinanti sudah menjelaskannya sampai berkali-kali, dan membuatnya hampir percaya jika semakin sering menjelaskan, semua konsep dan tema bangunan apartemen miliknya terdengar semakin menyedihkan. Kinanti sadar bahwa tidak ada benang merah antara konsep dengan coretan dua dimensi yang dibuatnya selama perkuliahan tadi.

"Kinan," Kinanti mengangkat pandangannya dari gambar dan langsung bertatapan dengan mata gelap pria itu yang ternyata memiliki semburat keabuan pada irisnya. Sorot mata pria itu menghunusnya begitu tajam, menunggunya memberi penjelasan. Sayangnya, Kinanti sudah kehilangan semangat dan lebih memilih menundukkan kepalanya sambil berharap pria itu segera mengakhiri sesi asistensinya. 

"Sepertinya kamu sudah memutuskan seperti apa nilai akhirmu nanti," kata pria itu tegas.

Kinanti terperangah. Apa pria ini sedang menakut-nakutiku? Mengancamku?. Karena kalau memang begitu, Kinanti tidak bisa membiarkan pria itu bertindak seenaknya. Walaupun dia adalah harapan terakhir Kinanti supaya bisa mengikuti studio tugas akhir di semester depan.

Diorama Cinta (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang