Please

43 7 0
                                    


Kim Jisoo... bibi Ming menemukannya tidak sadarkan diri di kamarnya, di hari itu, dengan puluhan pil tidur yang berserakan...

Jungkook tidak pernah tahu jika menunggu bisa sesakit ini. Dulu, saat ibunya menginap di rumah sakit lama sekali dan nyaris tidak pernah ingin pulang ke rumah, menunggu adalah hal yang biasa. Dia terlalu terbiasa hingga saat ibunya pergi untuk selama-selamanya pun, Jungkook sendiri nyaris tidak meneteskan duka.  Tapi keadaan ini jelas berbeda...

Sama sekali...

Dia tidak pernah berpikiran kakaknya akan begitu nekat. Ingin pergi terburu-buru tanpa pertimbangan siapapun atau apapun. Bahkan menyisihkan Jungkook yang dia bilang, saat mereka masih kanak-kanak dan sepasang yatim dulu adalah soulmatenya.

"Bodoh... Kau memang bodoh, Kim Jisoo..." bisiknya serak. Entah keberapa kali. Jemarinya gemetar saat ada sepasang tangan lain menggenggamnya lembut. Hangat. Seperti sentuhan familiar yang tanpa sadar sudah dia rindukan. Tapi dia enggan untuk mengakui. Terlebih saat dia sadar, pemilik tangan itulah yang seharusnya bertanggung jawab.

Seharusnya dia yang berkorban, bukan kakaknya...

"Dan aku seharusnya membencimu, Kim Seokjin..." lanjutnya pelan. Walau begitu, dia tetap mempererat tautan tangan mereka. Dengan manik mata memerah itu, raut wajah penuh luka dan kecewa.

"Aku tahu. Kau pantas membenciku, Jungkook-ah. Setelah semua ini, aku memang kakak sulung yang tidak berguna." balas Seokjin. Mata bulat lelahnya mengedar ke ujung lorong rumah sakit yang sepi juga tampak suram. "Tapi percayalah, Jisoo akan membaik, dia gadis yang kuat. Dan semuanya akan baik-baik saja."

Jungkook diam-diam tersenyum kecut. Dia mengerti akan hal itu tentu saja. Dia bukan anak kecil lagi yang perlu ditenangkan. Tapi mendengar hal itu dari bibir pucat Kim Seokjin, kakaknya, entah mengapa Jungkook merasa sedikit tenang. Seolah-olah dia tidak sendirian lagi. Dan hal itu datang dari Sosok yang bertahun-tahun kini tidak pernah dia akui keberadaanya. Entah bagaimana, setitik rasa penyesalan itu ada. Mengambang sunyi di sudut hati.

Setelah semua hal ini, setelah apa yang terjadi, perasaan bersalah itu tumbuh semakin dalam. Benar kata ayahnya, Jungkook tidak sepatutnya bersikap egois.

"Kau ingin kubelikan sesuatu di bawah? Tanganmu dingin. Seharusnya tadi aku membawakanmu jaket lebih."

Sebegini perhatian...

"Kau belum makan apapun, Jungkook-ah. Aku sudah menghubungi ibu untuk membawa sedikit makanan. Aku tahu kau tidak bisa mengkonsumsi apapun sembarangan."

Setulus ini... Aku juga
ingin mengenalmu lebih dekat

"Dokter akan selesai memeriksa Jisoo sebentar lagi, dan kita bisa masuk kedalam. Bersabarlah, Jungkook-ah..."

Kim Seokjin, kau...

"Aku baru tahu kau secerewet ini-" balas Jungkook menggantung.  Dia mengalihkan pandangan dan menatap intens dua manik kembar mempesona. Juga pahatan wajah yang begitu elok. Tertegun sejenak. Lamat-lamat menyadari betapa indah makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.

Pantas saja, pantas si Kim-brengsek-Taehyung terlihat begitu gigih. Sekalipun dia mengemis.

"-Kakak..."

Dan senyum merekah itu, lagi-lagi Jungkook tidak pernah tahu ada lengkungan manis sebaik itu.

Waktu tiga tahun serasa sia-sia.

.

.

.

"Untuk seseorang yang calon istrinya tengah sekarat di rumah sakit, kau terlihat begitu luar biasa..."

M O O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang