TIDAK disangka-sangka, Sisy Iswandaryo kangen Jakarta yang panas dan berdebu. Setidaknya, di sini tidak ada kabut seperti Inner Sunset, area tempat tinggalnya selama menetap di San Francisco.
Pada summer break kali ini, Sisy resmi mengundurkan diri dari tim pemandu sorak Cal Bears di Berkeley untuk bertemu keluarga besar di Jakarta. Semua orang heboh dengan aksi Diaz melamar dirinya tanpa memberitahukan siapa pun, apalagi mempersiapkannya. Papa dan Mama nyaris tak berkutik ketika Diaz menghadap dan menyampaikan maksudnya, sedangkan keluarga besar Hanafiah tampak rikuh karena tidak merasa menggelar peresmian hubungan mereka secara pantas.
Lebih dari itu, ia dan Diaz akan menikah dalam tiga bulan! Tepat sebelum semester baru di University of California, Berkeley dimulai. Sesuai rencana mereka berdua—yang ternyata didukung oleh kedua sisi keluarga—Sisy akan melanjutkan kuliah dan Diaz keluar dari proyek WorldEye—juga Hanafiah Group—untuk bergabung di Yelp.
Mengingat agenda padatnya selama di Jakarta, hampir saja Sisy dikuasai rasa paniknya. Semua perhatian tiba-tiba tertuju ke mereka berdua—ke dirinya:
Siapa Sisy?
Oh, Adrianna yang pernah sama bangsawan Austria.
Sekarang dengan seorang Hanafiah?
Beruntungnya dia—tapi, tunggu dulu... tunangannya si Hanafiah yang nggak punya apa-apa itu 'kan?
Ah, mereka cocok. Orang biasa bertemu orang biasa.
Tentunya, mereka bukan bagian dari kita.
Semua itu sampai ke telinga Sisy tak lama setelah ia menjejakkan kaki di Indonesia dengan status sebagai tunangan Diaz Hanafiah.
Belum lagi tudingan pelakor—perebut laki orang—mengingat kebanyakan orang mengenal Diaz sebagai tunangan Maifreya Hudyana. Mereka asyik menyebar fitnah tanpa berusaha mencari tahu duduk perkaranya—dan mereka tidak peduli akan kebenaran yang sesungguhnya.
Suara-suara sumbang itu lain berasal dari sosok jelita yang biasa lalu-lalang di lingkaran para jetset The Society. Hanafiah tentu termasuk di dalamnya. Namun, hanya dengan satu lirikan dingin dari Inez Hanafiah, suara-suara itu kembali senyap.
Seolah kehebohan rencana menikah dan gosip yang kian santer belum cukup, pengetahuannya tentang Sword's Tears, menurut Nara, bukanlah hal yang patut diremehkan.
Apalagi, aku dan Diaz sudah melihat langsung wujud benda ajaib itu, Sisy membatin resah. Karena dirinya dan Diaz bisa menjadi target dari orang-orang yang selama ini mengincarnya, jadilah sikap Diaz kini lebih posesif dan terlalu waspada.
Bahkan, untuk menengok Bintaro Lakeside, kompleks tempat tinggalnya dulu, Sisy harus bersedia ditemani ajudan. Seorang bodyguard berbadan superkekar dengan tato naga di lengannya. Tak hanya dirinya, Papa pun setengah mati kaget mendapati kehadiran orang ini di depan lobi apartemen yang kini mereka tempati dan hampir mengayunkan tongkat golf ke arahnya.
Hari-hari bersama si ajudan tak berlangsung lebih dari sepekan dan berakhir dengan pertengkaran antara Sisy dan Diaz. Ia menolak keras diikuti terus-menerus—termasuk ketika membeli bahan makanan di pasar tradisional yang bikin iuran parkir pun jadi gratis—sedangkan Diaz melihat dirinya egois karena tidak memberikan kesempatan melindunginya. Sesuatu yang, bagi Diaz, merupakan kewajibannya.
"Kalau begitu, magang aja di tempat Inez," Diaz tidak menyangka, berargumen dengan si tunangan mungilnya akan sealot, sepanjang ini.
"Tempat... Inez?"
"Callasandra Origin."
Sisy tahun label fesyen yang tengah naik daun besutan sepupu Diaz itu. Callasandra Origin mengusung gaya santai yang tetap chic dengan tetap mengedepankan kelestarian lingkungan karena materialnya menggunakan katun organik.
Ketika sang tunangan masih terlihat bengong, Diaz meneruskan,"Inez pernah magang di Matt Jacobs, jadi kamu sekarang bisa magang sama dia—"
"It's Marc Jacobs," Sisy mengulum senyum saat mengoreksi sang kekasih, tak jadi marah.
"Whatever." Diaz memalingkan wajah, sedikit cemberut. "Atau, kamu mau mencoba di restoran saja? Sandra dan Taba bisa diskusikan ini ke pemilik Cotillard maupun Mikaela's."
Sisy kembali mengangkat alis. Dua resto yang Diaz sebutkan—salah satunya bahkan hanya dibuka untuk yang memiliki keanggotaan eksklusif saja—terkenal dengan kuliner yang tak hanya lezat, melainkan terlihat apik di atas piring. Entah akses serba mudah dari para Hanafiah ini menjadi berkah atau malah berpotensi mengakibatkan musibah baginya.
"Kalau kamu bersama Inez, aku jadi lebih mudah ngejagainnya. Jadi, ini memang pekerjaan yang cocok buat kamu, Si."
Sisy sempat merengut. Diaz terkesan membatasi ruang geraknya tanpa memberi kesempatan untuk mempertimbangkan hal itu lebih dulu. Ia memang suka memasak, tetapi bukan berarti dirinya tidak tertarik menjajal dunia fesyen yang gemerlap dari luar dan menantang di dalamnya.
Meski bukan yang terdepan soal gaya, ia menikmati mencoba dress keren di butik yang memiliki keunikan tersendiri. Favoritnya tak lain Lou Lou Boutique, juga Old Vogue di SF yang terkenal dengan koleksi vintage dan pernah dikenakan Blair dan Serena dalam serial TV Gossip Girl.
Setelah memutuskan akan bergabung di Callasandra Origin selama liburan musim panas ini, ia girang bukan main saat mengetahui dirinya dipercaya Inez bekerja di butik bilangan selatan Jakarta yang cukup ramai dan, tentunya, "gaul".
Butik Callasandra Origin yang bakal menjadi rumah kedua Sisy tak hanya tampak estetik—dibangun dan ditata untuk memuaskan mata para pengunjung wanita yang datang ke situ—namun juga fungsional. Di bagian depan terdapat pojok selfie dan kedai kopi mungil dengan gelas dari kertas daur ulang, kemudian di samping deretan kubikel fitting room terdapat tea room yang menyajikan secangkir mungil teh lokal dan impor secara gratis!
"Apakah kamu akan sering lembur?" Diaz bertanya, merasa tersisih dengan antusiasme baru itu. Ia berpikir keras bagaimana agar tidak terjamah The Black Soul—sindikat "magis" yang Nara yakini akan mengupayakan cara apa pun untuk mendapatkan relik Sword's Tears—sedangkan si calon istri malah asyik mengisi waktu liburan kuliahnya.
Sisy mengangguk, tersenyum perlahan. Walau kerap bikin kesal dan berpotensi menyulut pertengkaran baru, perhatian Diaz tak pernah gagal menyentuh hatinya. "Ya—dan di butik keluarga kamu yang terkenal powerful."
Sesaat, Diaz masih ingin mendebatnya lagi. Apalagi, ia tahu kebiasaan di sekitar sini yang menjadi amat sepi di malam hari. Karena sebagian besar toko di sisi kanan dan kiri Callasandra Origin adalah klinik kecantikan dan toko kue yang tidak buka sampai larut malam, bisa dikatakan Callasandra Origin adalah satu-satunya yang masih terang hingga pukul sepuluh. Tentu saja ia takkan membiarkan gadis ini naik angkutan umum, meski taksi sekalipun. "Pakai supirnya Inez saja. Aku yang bayar honor tambahannya."
"I'll be fine." Sisy mengelus pipi kekasihnya yang dengan cepat ditahan Diaz, perlahan dibawa ke depan wajahn dan di situ Diaz mendaratkan kecupan lama.
"Tingkat kejahatan di Jakarta naik drastis sejak kepergian kamu dulu. Ini bukan San Francisco, Si."
"Dan SF nggak berarti lebih aman, Yaz. Waktu pertama kali tinggal di sana dan malam-malam bertemu Kazu Kilpatr—"
"Don't mention about your ex."
"He's not my ex," Sisy tertawa renyah, diam-diam menikmati luapan rasa cemburu apa adanya itu.
Mereka masih berdiri di bawah kanopi besar tepat di pintu masuk butik, memandangi hujan. Permukaan gelas berisi americano hangat di tangan Diaz membuat tangan Sisy yang juga digenggamnya tak lagi kedinginan.
Sekilas, Sisy memandangi pertautan jemari mereka berdua, kadang masih tak percaya semua yang dialaminya hingga detik ini bukanlah mimpi.
"Aku masuk, ya." Sisy melepaskan tangan itu lebih dulu. Ia harus bersiap-siap sebelum butik dibuka untuk umum. "Kita bisa ketemuan dan lunch bareng, lho," paparnya ceria.
Air muka pemuda tampan ini pun sedikit lebih cerah. "Ya. Kebetulan meeting jam dua diundur ke jam empat."
Melihat ekspresi lega sang kekasih, Sisy pun jadi tenang.
(bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Terakhir
Teen FictionSaat liburan musim panas berlangsung, Sisy Iswandaryo kembali ke Jakarta. Dengan kegiatan magang, rencana pernikahan, dan drama yang melingkupinya, ia mesti menyelami kembali fondasi perasaan yang dimilikinya bersama Diaz Hanafiah.