5

2.2K 103 15
                                    




"RAMA Syadiran?"

Lelaki berkemeja abu-abu polos yang tengah mengambil baki makan siang aneka seafood ukuran besar—party size—tersebut spontan menoleh. Ia mengira yang memanggil adalah salah satu rekan kerja yang tak sabar menunggu pesanan mereka dalam rangka merayakan hari terakhirnya di kantor.

Tetapi, Rama baru engah, teman kantornya tak akan memanggil namanya selengkap itu.

Ia pun menoleh ke belakang, menemukan perempuan dengan rahang tegas berambut coklat muda, nyaris pirang, dan kulit putih khas perempuan kaukasia, tersenyum penuh percaya diri ke arahnya.

"Ya..." Rama merasa tidak mengenalnya.

"Kau menghadiri Fast Lane Business Forum beberapa bulan yang lalu—kantormu salah satu vendor teperaya Hanafiah Group 'kan? Beruntung sekali bisa menjadi bagian dari gurita bisnis yang rakus itu. Aku Kannika Ross dari Unity Consulting."

Rama sempat meneliti sosok ini. Unity Consulting tidak punya rep office di Indonesia. Seorang ekspat. Pantas sejak tadi perempuan yang diduga blasteran Asia-western ini mengajaknya berbincang dalam Bahasa Inggris.

"Gurita bisnis yang rakus." Rama tersenyum akan julukan yang diberikan gadis ini terhadap Hanafiah Group. Mungkin pesaing bisnis, pikirnya. Setahunya, Hanafiah Group memang dikenal banyak "musuh" lantaran agresif dalam berekspansi.

"Aku tidak berbicara atas nama Unity Consulting," Kannika meralat,"itu pendapat pribadi."

"Oh." Rama bergeser ke tepi, tak ingin mengganggu antrean di belakang. Delicatessen di mall besar bilangan SCBD ini selalu menyemut saat jam makan siang. "Sori, tadi namamu Kannika..."

"Aku temannya Nori Iskandar. Sekelas di Cambridge," Kannika menyadari perubahan air muka cowok di depannya,"So, I notice that she's been using you all this time."

"Kita sudah putus," Rama cuma merespons singkat.

"Aku tidak tertarik dengan hubungan pribadimu, tapi aku ingin tahu lebih lanjut tentang Hanafiah, terutama Carlo Andara."

"Carlo Andara...?"

"Nara," tegas Kannika, raut cantiknya berubah jadi mematikan. "And don't lie to me, handsome. I know both families—the Hanafiahs and the Syadirans—are related."

**

Pada jam enam pagi, cuaca tampak tidak bersahabat. Belum juga matahari bersinar cerah, tiba-tiba hujan sudah turun deras.

Diaz yang baru akan menaiki sepeda—sesekali ingin mencoba tren "bike to work" terkini—langsung menggeleng-geleng, kemudian memarkir sepedanya lagi di tempat semula.

Dipanaskannya mesin mobil, bertepatan dengan masuknya pesan baru di ponsel yang diduga dari Yelp, mengingat waktu sekarang ini setara dengan sore hari di Amerika.

Atau Sisy, batinnya dengan senyum yang perlahan terbentuk. Ia mulai terbiasa dengan rutinitas mereka untuk saling menyapa morning, I love you sebelum beraktivitas.

Namun, kening Diaz langsung mengerut ketika membaca pesan yang dikiranya salah kirim, namun malah berasal dari nomor ponsel Sisy.

Hai Rama.. sudah aku kirim ya. Terima kasih untuk kemarin siang.

Siapa Rama?

Ada apa kemarin siang? 

"¡Hola!"

"Hei, Nar..."

Muncul Nara Hanafiah, sepupu Diaz berkulit gelap dengan senyum menawan, di mulut garasi dengan ekspresi semringah, tanpa beban. "Photo session untuk ad terbaru Callasandra Origin nggak seseru yang gue kira."

Hujan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang