Part 5

54.5K 4.3K 43
                                    


Sasha

Aku tersenyum melihat Celloku yang sudah tidak sabaran untuk segera keluar dari bandara. Berbeda dengan anakku yang sejak turun dari pesawat terlihat begitu antusias, aku justru semakin was was dan tidak tenang.

Mungkin ini sedikit berlebihan, tapi setiap kali menapakkan kembali kakiku di sini, berbagai pikiran buruk selalu hinggap di kepalaku.

Selamanya mereka akan jadi ancaman tersendiri buat kami. Entah hal kotor apa lagi yang akan mereka lakukan ketika mengetahui keberadaan anakku di sini.

"Kenapa Bunda lambat sekali?! Ayo Bun, aku mau keluar!"

Lihatlah, Si Cerewet kecil itu mulai lagi. Entah sudah berapa kali dia mengatakan itu padaku dengan bibirnya yang mencebik lucu.

Aku bahkan sampai kewalahan mendorong troli yang berisi koper bawaan kami, saat berusaha mengejar Cello yang dengan setengah berlari menuju pintu keluar di depan sana.

"Pelan pelan Cello, kamu bisa jatuh kalau berlari seperti itu!"

Aku menarik nafas lega saat melihatnya berhenti berlari. Dia berdiri menungguku dengan wajah cemberut.

"Kita kan sudah sampai, kenapa dari tadi kamu tidak sabaran sekali?!"

"Rahasia."

Aku tertawa pelan, sejak kapan bocil satu ini punya rahasia dariku, ada ada saja.

"Jalannya yang benar, kamu bisa menabrak orang lain kalau buru buru seperti tadi."

Kami baru saja melangkah keluar dari pintu bandara, saat sebuah panggilan menyambut kedatangan kami.

"Cello! I'm here!"

"Om Abiiii ....."

Aku melongo, anakku berlari menghambur ke pelukan laki laki yang sudah membungkukkan tubuhnya dengan kedua tangan terentang lebar.

Kenapa dia di sini? Bahkan aku tidak pernah memberitahu padanya kalau akan pulang hari ini.

"Jadi karena ini kamu sudah tidak sabaran keluar dari bandara sejak tadi?"

Aku seperti bicara dengan angin, anak itu masih tertawa lebar di gendongan Om Abinya tanpa peduli lagi padaku.

"Wellcome home Sasha! Sorry, Cello bilang ingin kasih kejutan buat kamu."

Aku melirik anakku yang masih nyaman berada di gendongan laki laki ini, kedua tangan kecilnya memeluk erat lehernya. Ternyata mereka memang sedekat itu.

"Tidak, aku yang seharusnya minta maaf sudah merepotkan. Dia sudah keterlaluan memintamu menjemput kami ke sini, maaf."

"Aku sendiri yang ingin menjemputnya, jadi berhenti menyalahkan Celloku."

"Celloku?!"

Apa lagi itu, Celloku?! Sejak kapan bocah itu pindah kepemilikan, aku mendengus pelan.

"Yes, my Cello dan kamu dilarang keras untuk protes. Ini sudah menjadi kesepakatan kami berdua. Iya kan Cello?!"

Bocah itu mengangguk mantap. Dia tertawa geli saat Bang Abi mendaratkan satu ciuman di pipinya. Apa apaan mereka!

"Turun cello! Om Abi bisa capek gendong kamu."

"No, aku masih kangen."

Bang Abi hanya tertawa sambil membetulkan gendongannya, lalu mengajakku pergi ke tempat mobilnya di parkir.

Kadang aku tak habis pikir, kenapa anakku bisa sedekat itu dengannya. Padahal mereka jarang sekali bertemu.

Hanya saja sejak pertemuan kami di London waktu itu, mereka memang sering mengobrol lewat video call. Sangat sering malahan.

KARMA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang