*Welcome to South Korea*Dengan seksama bibir kecil gadis berusia 14 tahun itu membaca tulisan billboard yang terpajang di sepanjang jalan. Dari jendela mobil yang membawanya saat ini, tak hentinya ia memandang sekitar dengan kagum. Persis sekali seperti yang ia bayangkan. Gadis berponi ini memang selalu berharap untuk bisa menginjakan kaki di negeri ginseng ini suatu hari nanti. Hingga akhirnya hari ini datang. Setelah berbagai upaya, ia bisa mewujudkan satu dari mimpi yang ia punya.
Untuk bisa sampai sejauh ini, bukanlah sesuatu yang mudah. Menurutnya semua sangat melelahkan dan sebenarnya sulit dipercaya.
Setelah berbagai panggung dan audisi yang telah dilalui, ia akhirnya berhasil sampai di titik ini. Bangga tentu saja. Gadis ini telah mengalahkan lebih dari empat ribu peserta yang bermimpi sama dengannya. Kenyataan ini tentu akan membuat iri siapa saja. Namun, sesungguhnya ada lebih banyak perasaan yang tidak bisa dibaca dan dijelaskan dalam kata.
Usia empat belas tahun, masih sangat muda untuk bisa berada di negeri orang tanpa sesiapapun bahkan orang tua di sampingnya. Ia bahkan tidak memiliki kemampuan berbahasa yang memadai. Lantas perasaan khawatir dan takut tentu menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Jujur ia bahkan bertanya-tanya tentang bagaimana jika semua tidak seperti yang ia harapkan. Apa yang harus ia lakukan jika ternyata mimpinya yang terbilang nekat ini tidak bisa ia wujudkan?
Selagi sibuk berpikir dan menguatkan diri, tak terasa ia sudah sampai di depan sebuah gedung besar; tempat di mana ia akan mempertaruhkan nasibnya.
"Jadi ini tempatnya?" Kini dengan ragu-ragu, ia melangkahkan kaki menuju pintu masuk gedung itu. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, dan *brukkk* Karena terlalu sibuk melihat sekitar, ia jadi tak fokus memerhatikan jalan, dan berakhir dengan menabrak gadis lain yang sedang berdiri santai.
"Eh uhm I'm so sorry."
"Gwenchana, aku tidak apa-apa tetapi berjalanlah dengan lebih hati-hati," ujar gadis yang ia tabrak barusan diakhiri dengan sebuah senyum ramah. Ia tak nampak marah, begitu kiranya karena jujur ia tidak mengerti apa arti dari perkataan gadis di depannya yang berbicara dengan bahasa Korea ini.
"Uhm sorry but I can't speak Korean."
"Oh really? Sorry. How can I help you then?"
"Uhm I'm a new trainee here and I don't know where I should go."
"Ahh dont't worry I'll help you but may I know your name?"
"Lalisa. Lalisa Manoban but you can call me Lisa."
"Nice to meet you Lisa, I'm Jennie and let's go I'll help you," dengan penuh antusias, gadis bernama Jennie ini mengajak Lisa menuju dorm mereka. Lisa yang awalnya sangat kebingungan, merasa beruntung bisa bertemu dengan seseorang sebaik Jennie di hari pertamanya.
***
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Tak terasa sudah hampir satu tahun Lisa menjalani kehidupan barunya sebagai seorang trainee di salah satu perusahaan multimedia yang cukup terkemuka di Korea. Jika disuruh mendeskripsikan pengalamannya selama satu tahun itu, kata sulit lah yang muncul paling pertama.
Jadwal latihan yang sangat padat dan waktu istirahat yang sangat singkat menjadi kandidat alasan paling kuat. Akan tetapi tak bisa dipungkiri, keterbatasan bahasa tetep menjadi alasan paling utama. Namun, lagi-lagi beruntung Lisa mempunyai seorang Jennie yang selalu membantunya. Setelah agensi dengan kejamnya melarang siapapun berbicara selain bahasa Korea padanya, Lisa sungguh sangat mengalami kesulitan. Lalu di saat itulah Jennie selalu datang menghampiri dan membantunya. Diam-diam Jennie berbicara padanya dengan bahasa Inggris yang dapat Lisa mengerti. Sungguh Lisa berjanji bahwa sampai kapanpun ia akan mengingat kebaikannya.
Berbicara tentang masa traineenya yang sampai saat ini terbilang sangat 'luar biasa'. Lisa selalu mengusahakan yang terbaik darinya. Ia selalu berusaha, usaha, dan usaha, sampai akhirnya ia menemui titik lelahnya. Seperti hari ini misalnya.
Hari ini merupakan awal dari libur panjang tahun baru dan oleh karena itu, para trainee yang lain memanfaatkannya untuk pulang. Namun, tidak dengan Lisa. Di dalam sebuah kamar kecil tempatnya tinggal selama ini, kini Lisa mengeluarkan laptop dari ransel besar yang belakangan ini selalu ia bawa kemana-mana. Bukan tanpa alasan, ia melakukan itu untuk memudahkan jika sewaktu-waktu ingin melakukan panggilan video dengan ibunya yang berada jauh darinya.
Dua jam berlalu dan berakhirlah sesi temu kangen virtualnya dengan sang ibu. Dihembuskannya nafas kasar dan meletakkan ukulele yang baru ia beli dari uang saku untuk pulang yang tidak ia pakai itu.
Untuk saat ini, Lisa sungguh tidak bisa menahan semuanya lagi. Ia lelah, takut, dan sebenarnya ingin menyerah. Dalam kekalutan yang menyelimuti dirinya, Lisa menangis dengan menempatkan kepala di bawah bantal hingga tidak menyadari kehadiran seseorang di dekatnya.
"Lalisa gwenchana?" Dengan sangat terkejut Lisa kemudian menatap seseorang yang kini sudah terduduk di sampingnya. Ia mengulurkan tangan untuk meraih wajah Lisa, membelainya perlahan, dan menghapus jejak air mata di pipi Lisa. Dengan segala kerapuhan dalam dirinya, Lisa tak kuasa untuk tidak memeluknya. Lisa memang sedang sangat membutuhkan seseorang untuk bisa sedikit menenangkan hatinya. Bohong jika selama menjalani masa trainee ini ia bahagia. Awalnya memang ada euphoria, perasaan senang bisa memiliki kesempatan untuk selangkah lebih dekat dengan mimpinya. Namun kini Lisa perlahan mulai mempertanyakan tentang apakah kesempatan itu benar-benar ada? Apakah kerja keras yang selama ini ia terus usahakan itu cukup?
Selama beberapa saat ditenangkan dalam pelukan gadis itu, Lisa mulai bertanya tentang bagaimana dan kenapa gadis itu menghampiri dirinya.
"Aku terlalu khawatir memikirkanmu tinggal sendiri di sini. Lisa-ya lebih baik kau ikut aku pulang ke rumahku. Kajja! Tidak ada penolakan!" Dengan begitu gadis ini mulai beranjak untuk mengemasi beberapa pakaian dan hal lain yang diperlukan ke dalam ransel. Sementara itu, Lisa justru hanya terdiam memahami maksud dari semua ini.
Gadis di depannya saat ini merupakan salah satu orang yang sangat berjasa dalam hidupnya belakangan ini. Jika Jennie membantunya berbicara dengan bahasa inggris yang dapat ia mengerti, gadis inilah yang membantu Lisa mempelajari bahasa Korea. Ia bahkan tak pernah marah selalu ditanyai Lisa tentang berbagai hal dan tentu saja Lisa sangat amat berterima kasih akan semua hal itu.
"Gomawo-yo Jisoo eonnie."
#Writer's note:
This is my first work, any appreciations and comments will be greatly appreciate guys<3
KAMU SEDANG MEMBACA
unexposed || idol life story [BLACKPINK]
Fanfiction"Seriously does it has to be this hard?" "Blinks, please wait for us." "Damn I'm so tired with all this shit!" "We will always do our best, but is it enough to make us stay?" *** Menjadi seorang idol di Negeri Ginseng-Korea Selatan ternyata tidaklah...