Sara menatap langit-langit kamar dengan sendu. Ingatannya kembali pada 14 tahun yang lalu, hmm sedang apa dia sekarang?
"Kak!" teriak seseorang seraya menggedor-gedor pintu kamar Sara dengan keras. Sara berdecak malas, ia sangat mengenali siapa pemilik suara cempreng yang mampu memekakan telinga tersebut.
Anatasya, adik perempuannya yang sangat cerewat dan menyebalkan. Dengan malas Sara berjalan melangkah menuju pintu kamarnya, dibukanya pintu tersebut, senyum menyebalkan Ana menyambut Sara.
"Ngapain lo? Demen banget kayaknya ganggu gue lagi santai!" ketus Sara tidak bersahabat.
"Besok kaka liburkan?" tanya Ana menggoda. Bila keduanya sudah bersama, memang akan selalu ada peperangan kecil diantara keduanya. Ana senang sekali menggoda kaka perempuannya yang pemarah.
"Besok hari minggu Ana, semua sekolah libur." kata Arja memberitahu, sikap Arja ini tidak jauh berbeda dari Ana, namun laki-laki kembaran Ana ini terlalu moody-an. Seperti sekarang, mungkin mood laki-laki itu sedang kacau, jika tidak kacau, pasti ia bersama kembarannya sudah membuat Sara naik darah.
Ana cekikikan. "Besok mama sama papa mau kerumah kakek, kaka mau ikut?" tanya Ana seraya celingukan mengintip kedalam kamar Sara. Sara mendelik pada adiknya itu, lalu menggeser satu langkah ke kiri menghalangi pandangan Ana.
Ana berdecak sebal, "kaka mah!"
"Lo berdua mau ikut?"
"Mau lah! Lumayan kakek selalu kasih duit buat jajan!" seru Ana diangguki Arja.
"Gue dirumah aja lah, disana juga pasti banyak anak kecil, berisik." kata Sara membayangkan bila bertemu dengan para keponakannya yang bising dan sangat usil. Huh, menyebalkan sekali. Adakah keponakannya yang manis, kalem dan menggemaskan? Jawabannya tidak.
Heran juga, perasaan ibu dan ayah mereka tidak petakilan seperti itu. Tapi, ya, namanya juga anak kecil.
"Bagus deh!" Ana berseru semangat, Sara memicingkan matanya pada adik perempuannya itu. Aneh, sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan.
"Bang Andre udah pulang dari Australia, kak." kata Arja memberitahu lalu berlalu dari sana dan memasuki kamarnya. Ana mendengus sebal. Punya kembaran kenapa nyebelin banget sih!
Sara membulatkan mata serta mulutnya. Beruntung Arja memberitahu dirinya. Duh, Sara harus ikut, dia sangat merindukan abangnya tersebut.
"Pantes ya lo semangat bener gue kagak ikut, sengajakan lo biar oleh-oleh gue lo rampas sebagian?" Ana nyengir. Tanpa babibu apalagi menyapu, anak itu berlari meninggalkan Sara. Sara mendengus pelan.
Jika boleh, ia ingin menukar kedua adiknya dengan 2 ponsel berlogo apel sekarang juga.
***
Arga baru saja sampai di rumahnya setelah pulang dari rumah Aksa. Keadaan rumah yang kacau balau menyambut kedatangannya. Arga menghela nafas lelah, jiwa maupun fisiknya terasa sangat lelah.
Lelah mendengar keributan yang selalu terjadi didalam rumahnya ini. Menurut orang-orang, rumah adalah surga. Namun bagi Arga, rumah adalah neraka untuknya.
Arga melihat bi Ijah--pembantu dirumahnya--tengah membereskan kekacauan-kekacauan hasil pertengkaran mama dan papanya.
"Bi Ijah," panggil Arga, bi Ijah menoleh kemudian tersenyum lebar pada Arga.
"Eh, den Arga udah pulang, malem banget pulangnya. Udah makan belum?" tanya bi Ijah hangat. Arga mengangguk sekilas.
"Mau bibi buatin teh anget atau kopi gitu?" tawar bi Ijah. Arga menggeleng pelan.
"Ngga usah bi. Oh iya, vas bunga, atau pajangan-pajangan lainnya yang udah mereka hancurin ngga usah beli penggantinya ya, bi. Percuma, belum 1 minggu udah jadi sampah. Buang-buang duit. Kalau mereka kasih uang buat beli barang-barang itu balikin aja uangnya, bilang aja Arga yang nolak. Bibi ga usah takut." kata Arga. Bi Ijah menatap Arga dengan sendu.
Kasian sekali, dari kecil Arga tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Bi Ijah lah yang merawat Arga sejak Arga masih bayi. Hitung saja sendiri sudah berapa lama Bi Ijah bekerja disini.
Arga tau, orang tuanya tidak saling mencintai. Mereka hanya mempertahakan keluarga ini saja, ya, meskipun sudah hampir retak atau bahkan rubuh sebentar lagi. Mereka hanya menunda perpisahan, Arga tau perpisahan orang tuanya itu pasti akan terjadi.
Arga berdoa, semoga mereka cepat berpisah. Lebih baik mereka berpisah dari pada satu rumah tapi hanya membuat rumah itu menjadi kapal pecah.
"Udah dewasa tapi sering banget pecah-pecahin barang, kayak anak kecil ngga dikasih permen aja." gumam Arga sinis seraya melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.
***
"Papa!" jerit Aksa tidak terima ketika ayam gorengnya diambil papanya sendiri. Tidak tanggung-tanggung, Isman--papa Aksa--langsung melahap paha ayam tersebut.
"Ma..." rengek Aksa pada mamanya. Mamanya hanya diam seraya menyiapkan makan malam, Isman terkekeh menatap putranya yang di jutekin mamanya sendiri.
"Ma, masa papa makan ayamnya dua potong, buat Aksa mana?" tanya Aksa seraya menatap lirih masakan didepannya. Hanya ada sayur sawi, tempe kecap, dan tiga paha ayam goreng. Dua paha ayam itu dikuasai oleh Isman.
Aksa tidak menyukai sayur sawi.
"Ma, ayam mama buat Aksa aja, ya?"
"Ngga," jawab mamanya.
Aksa mendesis kesal. Isman meraih sendok, dipukulnya kening putra semata wayangnya menggunakan sendok tersebut membuat yang dipukul mengaduh kesakitan.
"Udah papa bilang, jangan dulu ngajakin temen-temen kamu kesini. Mama kamu dari pagi lagi badmood. Nambah badmood tuh liat ruang tamu berantakan. Ngeyel sih, kalau orang tua bilangin itu dengerin!" kata Isman mematahi putranya. Aksa hanya menggangguk pelan, ia menatap ayam goreng ditangan kiri Isman yang belum digigit.
Isman tertawa lalu menaruh ayam itu dipiring Aksa.
"Inget ya Aksa, kalau orang tua kasih tau itu dengerin, lakuin, jangan masuk telinga kanan keluar telinga kiri!" Isman memperingati.
"Congean dong!"
"Aksa!" tegur mamanya membuat Isman tertawa kembali. Aksa nyengir seraya membentuk jarinya menjadi huruf V.
"Damai, ma! Hhe..."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAAKSARA
Novela JuvenilDidalam persahabatan, mencintai orang yang sama dengan sahabatmu memang bukan rahasia umum lagi, namun seharusnya kejadian tersebut tidak membuat persahabatan kalian sampai hancur. Harus ada yang mengalah, karena tidak sepantasnya ikatan persahabata...