Selayaknya manusia yang lain, aku hidup dan bergaul dengan batas normal. Berteman dengan siapa saja, tanpa memikirkan budaya, agama, suku dan ras dari mereka. Entah itu mereka transgender, ateis, orang yang terlalu fanatik di sebuah organisasi, orang idealis, sastrawan, akademisi, hingga mereka yang telah hidup dalam pekatnya dunia malam pun telah menjadi teman ku. Mereka semua adalah teman-temanku, saudara tak sedarah.
Aku bersyukur karena tetap berpegang teguh dengan prinsipku selama ini, bahwa dengan siapa pun aku bergaul, bukan berarti aku harus seperti mereka. Aku tetap melakukan apa yang ku yakini, tetap menyembah hanya kepada Allah, shalat wajib dan sunnah tetap terlaksana dan menjalankan segala perintahnya menjauhi larangannya. Alhamdulillah karena Allah masih melindungiku dari segala hal yang buruk.
"Aruni, kenapa kamu mau berteman dengan aku dan Raya?" Tanya Benny padaku.
Benny dan Raya adalah temanku sejak tiga tahun ini, kami bertemu tanpa sengaja di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Saat itu aku duduk di ruang tunggu karena ketinggalan kereta untuk keberangkatan pagi ke Kota Solo. Kemudian Benny tiba-tiba datang duduk tepat di depan ku dengan raut wajah yang sulit di tebak. Ternyata saat itu dia kabur dari rumah karena kedua orang tuanya sering bertengkar. Hal itu ku ketahui setelah Benny menerima telepon dari seseorang yang dugaanku adalah kakak Benny. Beberapa saat kemudian Raya pun datang duduk di samping kursi tempat ku duduk dengan luka memar di pelipisnya. Rupanya dia adalah korban dating violence. Aku mengetahuinya setelah Raya meminta minyak kayu putih yang berada dalam genggaman ku untuk di oleskan pada lukanya, kami mengombrol cukup lama.
"Karena kita saudara, walaupun tak sedarah." Jawab ku tersenyum.
Aku menganggap siapa saja yang hadir dalam hidupku adalah rezeki dari Allah, rezeki berupa orang-orang baik yang mengajariku tentang pahit manisnya kehidupan, walaupun apa yang mereka alami tak pernah ku alami, tapi aku bisa merasakan betapa beratnya berada di posisi mereka.
"Mbak Aruni, kau terlalu baik menjadikan kami saudara mu." Kali ini Raya yang bersuara.
"Bukankah dalam agama kita di perintahkan untuk saling menjaga hubungan persaudaraan?" Jawabku yang masih memandangi kendaraan lalu laLang dari atas lantai dua kafe tempat kami melepaskan segala keluhan dan kepenatan satu sama lain.
Hari ini memang cukup melelahkan, aku dengan pekerjaan di kantor yang beberapa hari ini mengharuskan untuk sering lembur. Benny dengan proyek pengerjaan rumah sakit dari salah satu kliennya, dan Raya yang sibuk dengan revisi tugas akhirnya. Di antara kami bertiga, Raya yang paling muda. Benny tua satu tahun dariku, seorang arsitek yang selalu menang tender.
Benny menganggukkan kepalanya kemudian menyeruput mocca latte.
"Kamu benar Run, setiap manusia memang harus menjaga hubungan persaudaraannya. Sayangnya masih banyak orang di luar sana yang berteman karena melihat dari tingkat sosialnya."
"Kalau bukan karena Kak Aruni, aku mungkin tidak bisa sampai di titik sekarang ini." Ucap Raya dengan mata sendunya.
Kedua orang di hadapanku ini telah berhasil melanjutkan dan manjalani kehidupannya dengan baik. Ternyata ilmu psikologi yang masih melekat dalam ingatanku saat kuliah dulu masih bisa ku gunakan dan bermanfaat untuk orang lain. Terutama untuk Benny dan Raya. Aku percaya bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna di dunia ini selain Allah Yang Maha Segalanya.
"Aku hanya perantaranya Allah. Aku juga belajar banyak dari kalian berdua."
Hidup terkadang tak bisa kita tebak, rencana Allah selalu saja mengejutkan dan setiap apa yang kita inginkan belum tentu itu baik untuk kita. Benny dan Raya memang memiliki masa lalu yang membuat mereka trauma, tapi akhirnya bisa bangkit dengan kokoh dan membuktikan pada dunia bahwa mereka adalah orang-orang sukses yang bermanfaat bagi orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Tak Beralur
Short StorySebuah antologi cerpen, mengisahkan tentang kisah inspiratif setiap orang.