"BERHENTI!" suara lantang gadis dari depan pintu rumah, ia menghampiri Dion, Ayahnya.
Dion menatap anaknya bengis. Rifa, Ibu Nabila meringis kesakitan kala Dion menghempaskan tangannya kasar.
"Jangan sakitin Ibu!" ia memeluk Rifa erat, ia tak tega melihat keadaan Ibunya yang mengenaskan. Rambut acak-acakan, pipi kanan bercak merah bekas tamparan Ayahnya. Dahi yang tergores serpihan kaca.
"Saya gak akan sakiti Ibu kamu, kalau Ibu kamu setuju dengan keputusan saya!"
Nabila melepaskan pelukan Rifa, mengerutkan kening tanda ia bingung. "Maksud Ayah keputusan apa?"
"Saya akan menikah dengan Tante Winda! Dan kamu akan mempunyai saudari tiri!" tegasnya dengan yakin.
Nabila mematung, tubuhnya menegang bak disambar petir. Matanya memanas menahan air mata yang akan jatuh ke pelupuk pipi mungilnya. Dengan berkedip satu kali, setetes air mata akan mengalir deras ke pipinya. Rifa menangis terisak-isak, suaminya tetap akan mempertahankan keputusannya itu.
"Ayah bercanda?!"
"Saya gak bercanda dan gak akan main-main!"
Nabila mengusap kasar sisa air mata yang terus mengalir deras ke pipinya. Ia tersenyum miring, dengan kedua tangan mengepal kuat.
"Ayah mau nikahin Tante boneka jalang itu?!"
Dion amat marah, terlihat urat-urat leher yang menonjol. Ia menampar sang anaknya keras.
PLAK!!!
"Jaga omongan kamu! Tante Winda bukan boneka jalang, anak sialan!!!"
Nabila memegang pipinya yang terasa panas nan ngilu. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya, Dion baru pertama kali menampar dirinya seumur hidup. Ayahnya lebih membela Tante Winda yang berstatus calon istri, ketimbang membela anak kandungnya dan istri sahnya. Dan juga tak percaya Ayahnya memanggil ia dengan sebutan 'anak sialan'.
"Apa Ayah bilang? Ayah lebih membela boneka jalang itu dari pada aku sama Ibu? Dan tadi apa?! Ayah manggil aku dengan sebutan anak sialan!!!"
Ia memejamkan mata, mengatur nafasnya yang tak beraturan.
"Saya gak sudi bela kamu dan ibu kamu, Rifa!"
Ketika Nabila ingin membalas perkataan Dion, Rifa mencekal lengan tangannya seraya menggeleng pelan. Segera Nabila melepas tangan Ibunya pelan sembari tersenyum, meyakinkan kalau ia pasti baik-baik saja.
Ia menatap Dion tajam seraya berdecih. "Cih, Ayah mau aja dimanfaatin sama Tante Winda dan anaknya yang matre itu!"
"Anak saya dan istri saya gak matre, asal kamu tahu!"
"Ayah gak tau sifatnya mereka! Mereka itu bermuka dua, munafik, licik!"
Dion tak terima, istri dan anaknya dihina seperti itu. Lebih tepatnya masih calon istri yang belum sah, dan anak tiri.
"Omong kosong! Saya gak percaya dengan apa yang kamu katakan! Itu semua dusta!!"
"Kamu itu anak sialan, biadab, gak pantas lahir didunia ini!!!" lanjut Dion dengan nafas yang ngos-ngosan.
Nabila bahunya melemah, rasanya bercampur aduk sedih, kesal, kecewa, marah, tak percaya dengan ucapan Ayahnya barusan. Ia tanpa beban mengatakan hal yang sangat menyakitkan.
Rifa menutup mulutnya tak percaya apa yang suaminya barusan berucap seperti itu.
"Cukup mas?! Dia anak kamu! Anak kandung!"
Nabila mendongak menatap Dion, air matanya terjatuh begitu saja, seraya tersenyum tipis.
"Ayah ingkar janji sama aku? Mana janji Ayah pas aku masih kecil? Katanya gak akan nyakitin aku sampai seumur hidup dan kalau ada yang nyakitin aku, Ayah bakal hukum dia. Tapi apa?! Ayah sendiri yang nyakitin aku!!"
Dion termangu ditempat, kala putrinya mengingatkan janji yang sudah bertahun-tahun sila.
Ia menggelengkan kepala, sampai kapan pun ia tak akan pernah mempunyai rasa bersalah terhadapnya.
"Saya sudah lupa dengan janji-janji yang saya buat!"
Rifa menangis melihat keluarganya bakal hancur seperti ini. Ia ingin memeluk sang anaknya, tetapi terpotong dengan ucapan anak semata wayangnya.
"Betapa mudahnya ayah melupakan janji yang sudah bertahun-tahun itu?!"
"Sudahlah lupakan saja, kalian berdua harus menerima keputusan saya!"
Rifa segera memeluk anaknya. Mereka berdua diam tak berkutik.
Dion yang mendapat respon seperti itu tersenyum miring. "Saya besok akan menikah dengan Tante Winda, dan kalian gak usah datang ke pernikahan kita. Bikin susah orang saja!"
"Satu lagi, Rifa saya gak akan cerain kamu. Kalian berdua tetap tinggal dirumah ini, jaga sikap terhadap istri saya dan anak saya nanti. Terutama kamu Nabila harus menerima Lesha sebagai saudari tiri kamu, dia seumuran dengan kamu. Dan Tante Winda serta Lesha akan tinggal serumah dengan kita,"
Ucapan terakhir Dion membuat Rifa dan Nabila terkejut. Terutama Nabila, ia tak terima boneka jalang dan anak jalangnya tinggal serumah.
"Aku sama Ibu gak mau dan gak setuju kalau mereka tinggal serumah dengan kita!"
"Jangan membantah NABILA!!!"
Rifa menoleh ke arah putrinya, ia tersenyum dan mengangguk. Nabila menghembuskan nafas kasar. Ia pasrah dengan keputusan Ayahnya itu.
°°°°°
Semilir angin malam berhembus perlahan membelai pipi seorang gadis manis dengan lembut. Bernama Nabila Irene Syafanny. Ia menatap bintang-bintang kecil dari balkon, ditemani dengan gitar kesayangan di pangkuannya.
Sedetik kemudian air matanya mengalir deras membasahi pipi mungilnya. Ia menangis tanpa suara dengan menelungkupkan wajah diatas lutut dengan kedua tangan memeluk kaki.
Nabila bimbang dengan pernyataan Ayahnya tadi sore, ia kecewa atas keputusan Ayahnya itu. Tidak ada yang tahu seorang gadis berwajah manis larut dalam kesedihan yang mendalam, kecuali bintang.
Ia mendongak menatap langit-langit yang dikelilingi oleh bintang, dengan air mata yang masih mengalir deras.
"Bintang, lo satu-satunya yang tahu kalau gue lagi nangis,"
Ia menghembuskan nafas lelah.
"Bintang, lo pasti tahu betapa leganya menangis dalam sunyi, meskipun diantaranya sangat perih. Terkadang menangis tanpa alasan itu lebih puas bisa melepas semua beban dibanding menangis dengan suatu alasan,"
Ia menatap bintang yang bersinar di malam hari dengan tersenyum tipis, seraya mengusap sisa-sisa air mata.
~~~
• Happy Reading •
| Billa Girl Rain |
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Hujan [On Going]
Teen FictionTersenyum. Satu kalimat yang memang terkesan sederhana. Jangan hanya tersenyum untuk menyembunyikan rasa sakitmu, tetapi tersenyumlah untuk menyembuhkan rasa sakitmu. •••••• ©2020 || Nabila Gladistya