21. KETENANGAN YANG TERNYATA MENYIMPAN BADAI (1)

5.5K 485 34
                                    

Malam, Dears! ^^

Malam ini Hara update lagi. Maaf kalau pendek karena bab 21 ini memang Hara bagi jadi 2 bagian karena babnya panjang. Belum selesai pula Hara ketik. Nguantuk pol.

Semoga bisa dimengerti, ya ...
Yang penting, Hara sempetin update dan rajin daripada ngilang lagi. Huhuhu

Jangan lupa vote di awal cerita,
Dan komentar setelah membaca.

So, here we are ...

Happy reading!

***

Ardi memandangi Aira yang masih tertidur di ranjangnya. Silau bias cahaya matahari yang masuk tak sedikitpun mengganggu wanita itu. Wajah ayunya begitu lelap dan sangat tenang.

Sebentar lagi dia harus berangkat ke rumah sakit. Seharusnya, Ardi membangunkan Aira untuk berpamitan, mengingat sudah dari satu jam yang lalu dirinya bersiap. Alih-alih melakukannya, dia terduduk di tepi ranjang dengan pandangan yang tak pernah lepas barang sedetikpun. Setengah jam berlalu dengan Ardi yang masih diam terpaku. Berbeda dengan benaknya yang sibuk menelaah pembicaraannya dengan Aira semalam lalu.

"Aku bertemu lagi dengan dia. Aku pikir dia tak akan menggangguku karena tahu kalau aku akan menikah. Lagi pula, dia juga sudah beristri," cerita Aira selepas mereka makan malam dan bersantai di sofa ruang tengah.

Pada saat itu, tak banyak yang Ardi komentari. Dia hanya ingin menjadi pendengar yang baik untuk Aira. Rasa ingin tahunya begitu tinggi, tetapi dia juga tak ingin memaksa. Jika memang ada sesuatu yang terjadi, Ardi lebih mengkhawatirkan mental Aira yang belum begitu kokoh seperti sedia kala.

Psikis Aira serupa lapisan tipis es di atas air kala musim dingin. Kita masih bisa berjalan di atasnya, tetapi tak bisa terlalu terburu dan kuat dalam berpijak. Jika tidak, maka es itu serta merta akan runtuh dan lebih sulit untuk dikembalikan ke bentuk semula.

"Tapi semua prediksiku salah. Dia mengirimiku pesan dan memintaku untuk bertemu. Dua tahun aku hidup dalam ketakutan dan kebobrokan jiwa karena dia. Karena itu, untuk sekali saja dan yang terakhir, aku ingin dia melihat aku sebagai wanita yang tak lagi mudah dia permainkan. Aku ingin menunjukkan padanya bahwa dia bukanlah siapa-siapa yang menghalangiku bahagia. Jadi, aku mengiyakan ajakannya."

Ardi masih mengingat bagaimana dia mati-matian menekan rasa kesalnya ketika mendengar keputusan yang Aira ambil. Dia tak masalah dan tak sekesal itu jika saja Aira meminta izinnya lebih dulu, bukan bertindak sembrono dengan pergi menemui pria itu sendirian. Setidaknya, dengan keberadaannya di sisi Aira, Ardi bisa dengan cepat mengkalkulasi hal-hal buruk yang mengancam calon istrinya itu.

"Apa yang dia inginkan darimu? Dia tidak mungkin mengajakmu bertemu jika tidak ada yang dia inginkan, benar?" Itu adalah dua kalimat pertama yang Ardi suarakan sejak Aira mengambil alih hening di antara mereka dengan memulai cerita.

"Dia ingin aku kembali padanya, menjadi istri keduanya. Gila, bukan?"

Seketika netra Ardi membelalak tak percaya. Mantan dari calon istrinya itu ternyata lebih bajingan dari yang dia kira. Entah kenapa, ingin rasanya Ardi melabuhkan bogeman mentah agar otaknya yang miring kembali pada tempat yang benar. Jika bukan karena Aira yang menjadi pereda amarah dengan mengusap rahangnya yang sontak mengeras, mungkin Ardi sudah memaksa Aira untuk mengantarkannya menemui pria tak berhati itu.

"Tenanglah! Aku tidak akan jatuh pada perangkap liciknya meskipun dia dengan kurang ajarnya mengancamku. Aku telah memukulnya telak dengan mengatakan bahwa sentuhanmu lebih hebat daripada sentuhan menjijikkan darinya. Dan yang lebih penting, dia sudah tak mempunyai bahan ancaman apa pun lagi sekarang. Kamu sudah tahu keadaanku, Mas. Aku sendiri yang membuatmu tahu, bukan dari dia seperti yang dia peringatkan."

Darah di sekujur tubuh Ardi memanas dalam sekejap. Tanpa Aira menceritakan versi lengkap dan detailnya, dia sudah bisa menebak ancaman menjijikkan apa yang pria itu gunakan. Dugaan Ardi semakin masuk akal dengan tindakan impulsif Aira yang menginginkannya bercinta.

Sebisa mungkin, Ardi menerapkan teknik pernapasan untuk meredakan emosinya yang kembali memuncak. Semalam dia terlihat begitu tenang meskipun sebenarnya menyimpan gemuruh ingin membunuh. Hanya karena tak ingin melihat Aira menyesal karena sudah menyembunyikan hal sebesar dan sepenting itu darinya, Ardi berpura-pura tak masalah.

Sayangnya, pagi ini dia tak mampu meredam gelisah. Otaknya memutar rencana untuk menjauhkan Aira dari pria yang sejak dua tahun lalu sangat Ardi ingat namanya sampai sekarang. Saat beberapa kali berpapasan pun, siluet wajah pria itu tak pernah luntur dalam rekam benaknya. Mungkin, pria itu tak pernah tahu siapa Ardi. Namun, Ardi sangat kenal betul sosok yang sudah membuat Aira-nya terkukung masa lalu.

Ardi menyelipkan anak-anak rambut yang menutupi wajah Aira saat wanita itu menggeliat dalam tidur. Jemarinya tak pernah bosan bertengger di pipi mulus Aira, mengusapnya lembut. Kemudian, Ardi melabuhkan kecupan sayang pada glabela Aira untuk berpamitan. Tentu saja tanpa berniat membangunkan calon istri kesayangannya itu.

Setelah dirasanya cukup, dia menegakkan tungkai sembari membenarkan selimut Aira. Dia lantas berbalik menuju sofa di seberang ranjang untuk mengambil tas dan sneli-nya. Sebelum pergi, sekali lagi pandangannya jatuh pada Aira, memastikan sekali lagi wanita itu masih tertidur.

"Aku mencintaimu, Sayang. Tetaplah bertahan bersamaku hingga akhir. Jangan kembali padanya sekalipun aku tahu perasaanmu padanya masih tersisa," gumam Ardi begitu lirih dengan sorot sendu penuh permohonan.

Harusnya, dia mengatakannya dengan jelas pada Aira semalam, bukan melantangkannya tak ubah seorang pengecut seperti sekarang.

Usai menguasai kembali perasaannya, Ardi berjalan menuju pintu kamar. Dalam kegamangan yang menyelubungi hatinya, dia bersumpah dan bertekad dengan seluruh cinta yang dia punya. Dia akan menemui pria itu secepatnya dan memberinya sedikit pelajaran. Ardi akan menunjukkan di mana posisi pria itu seharusnya. Ya, Ardi pasti akan melakukannya demi Aira dan masa depan mereka berdua.

"Ya, dia adalah orang yang kita temui di rumah Kak Dania waktu itu. Namanya Evan Parisya Laksona, sepupu dari suami Kak Dania, Mas Haikal."

Tbc


Apa yang kalian dapat di Bab ini?

Komentar pendapat kalian di sini!

Terima kasih yang sudah vote dan komentar, Dears. Apresiasi kalian terhadap usaha Hara menyelesaikan cerita ini sungguh luar biasa. ❤️❤️❤️

Dan buat silent reader yang cuma nyimak dan diem-diem bae padahal jempolnya gerak terus nye-scroll, semoga jempolnya KEPELESET buat ngevote!

See you, Dears!


Big hug,
Vanilla Hara
07/10//20

TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang