Pengakuan: susah juga ya bikin cerita begini asli harus mikir and beberapa kali baca.. Kalau kalian ngerasa ada yg salah (kyk detailnya aku ada yang missed atau apa, bisa langsung komen atau private message ya! Jadi aku bisa ubah beberapa detail yang mungkin aku kelewatan atau mungkin ada yang mau jadi beta reader).
Ini baru pertama kali bikin ff kyk gini ya rob, langsung tertantang banget ye wkwk. Ngomong-ngomong kayaknya bakalan update ini seminggu sekali atau dua kali... Xixixi, tergantung melihat situasi tugas hidup saya.
Tambahan: ASLI INI Out Of Character banget buat castnya wkwkwkkwkwk. Maaf banget karena I know in real life mereka gk kek gini(?).
Slow banget juga jalan ceritanya ._.
Trigger Warning: violent. harsh words.
selamat membaca~ xoxo.
Hal pertama yang Jisung lakukan setelah mendengar Chenle yang juga berkata 'Aku juga merindukanmu' adalah tersenyum lebar. Lima tahun ia menunggu dan akhirnya mereka bisa kembali bertemu.
"Jisung, aku minta maaf –"
"—sudahlah." Jisung memotong Chenle. Ia tahu apa yang Chenle bahas. Sebatas meminta maaf karena tidak membantunya selama lima tahun ini.
Punggung Chenle masih diusap dengan halus oleh Jisung, mereka mempertahankan posisi ini sampai lebih dari 2 menit sampai Jisung lebih dahulu melepaskan pelukannya. Membuat Chenle sedikit tersentak dengan gerakan Jisung.
"Chenle, aku serius mengenai aku tidak bisa mengendarai jet itu. Aku bukan pilot." Ujar Jisung sambil tertawa pula diakhir, agar pembicaraan tidak terkesan garing.
"Aku tahu tapi aku tahu kamu pasti bisa. Mendengar cerita Mark tentang motormu, aku tahu kamu bisa mengontrol kendali jet juga. Jeno mengerti sebagian tentang mesin jet itu tapi ia tetap butuh teman untuk membantunya membawa jet tersebut."
"Maksudmu? Tombol pesawat seperti itu banyak Chenle, aku pernah berkunjung ke museum pesawat dan tombolnya banyak dan aku tidak mengerti."
Chenle menyatukan tangannya seperti berdoa, "Jeno mengerti dan ia hanya butuh tenagamu juga. Ada hal yang sama dengan motormu, kami tidak bisa tahu tapi Jeno menemukan blueprint jet tersebut dan bilang mesinnya sama dengan motormu. Ayolah Jisung, percaya padaku."
Jisung menatapnya tidak percaya karena ucapan Chenle membuatnya langsung menyaut, "Aku sudah percaya padamu sejak lima tahun yang lalu Chenle."
Chenle menurunkan tangannya, ia takut Jisung malah berubah pikiran dan memutuskan untuk kembali pulang. Matanya yang tadinya berbinar menatap Jisung pun berubah menjadi kecewa tetapi ini bukan salah Jisung sepenuhnya, ia tidak bisa menaruh rasa kecewanya juga.
"Apa tujuanmu sekarang? Kamu sudah mau menjatuhkan satu Central Asia dan selanjutnya apa?" tanya Jisung dengan terus terang. Ia tidak mengeluarkan ekspresi apapun saat Chenle mulai menunjukan wajah sedih-nya.
Gelengan kepala adalah jawaban pertama Chenle atas pertanyaan Jisung.
Jawaban kedua Chenle adalah "Tidak tahu. Aku tidak tahu aku mau melakukan apa setelah ini tapi aku selalu bilang ke Jeno dan Jaemin kalau kemanapun kamu pergi, aku akan disampingmu. Tidak seperti lima tahun yang lalu."
Jisung terdiam mendengar jawaban dari mulut Chenle.
"Jawabanmu masih terlalu tidak jelas."
Ucapan Jisung berhasil menarik semua perhatian dan juga emosi Chenle, "Dititik mana Jisung, bagian ketidak-jelasanku? Aku keluar dari susunan CA untuk menemukanmu yang sama sekali tidak mau ditemukan dan sekarang aku sudah menemukanmu dengan mudahnya kamu bilang tujuan hidupku tidak jelas?" Chenle malah lebih dahulu terbawa emosi, suaranya naik-turun diikuti dengan mata marahnya. Ia tidak terima kalau Jisung seenak itu berkata bahwa ide hidupnya masih tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outlast
FanfictionMencoba untuk bertahan diri dan mungkin bertemu Chenle. Itu adalah tujuan hidup Jisung saat ini. "Lights On Chapter II: Outlast". Diberikan warning 'Mature' karena ditakutkan ada bahasa yang kurang nyaman.