Part 3

18 5 0
                                    


#Pria_Bertuxedo_Hitam
By: Salwa Sabila
Part 3

🖤

"Maaf, aku--"

"It's okay, Miss. Excuse me." Pria itu membalas dengan ramah dan langsung berlalu begitu saja menuju ballroom.

Sementara, dalam ketidaksadaran aku masih menatap tubuh tingginya yang semakin menjauh. Ketidaksadaran akan jatung yang seolah-olah jatuh. Jatuh ke pelukan pria yang baru saja kutemui malam ini.

***

Di sepanjang perjalanan pulang, Pipih hanya berdiam diri dan fokus mengendarai mobil tuanya. Aku tahu, Pipih pasti merasa kesal pada sikap anaknya ini. Ya, aku memintanya bergegas meninggalkan hotel, karena merasa tak sudi pergi ke sana hanya karena dimanfaatkan oleh Bang Tatang.

"Kenapa kita berhenti, Pih?" Aku membuka suara saat ternyata pria di sisi menepikan mobil ke bahu jalan.

"Pipih lapar," sahutnya sambil membuka sabuk pengaman. Lalu, keluar menuju emperan toko yang sudah tutup dan terdapat penjual angkringan.

Aku menghela napas sejenak, sebelum akhirnya ikut turun untuk menemani Pipih di tempat itu.

Aku juga lapar.

"Kamu mau makan apa, Wid?" Sepertinya, pria yang duduk lesehan itu paham betul kalau anaknya ini juga lapar.

Aku diam.

"Ya, sudah kalau gak lapar--"

"Nasi kucing lima pakein gudek!" celetukku membuat Pipih terkekeh.

Kami pun akhirnya menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan dan ngobrol di tempat sederhana itu.

Puas menikmati makan di emperan ruko, kini, mobil tua Pipih mulai memasuki gang yang hanya cukup dilewati oleh satu mobil. Sudah tak ada aktivitas warga terlihat malam ini. Di sepanjang perjalanan aku hanya diam karena kenyang dan menahan kantuk. Namun, pria di sisiku masih saja asyik sendiri mendengarkan lagu-lagu lawas yang diputar di salah satu saluran radio dalam mobil.

"Sudah sampai, Wid." Pipih menepuk bahuku pelan, hingga aku sedikit tersadar dari kantuk.

"Oh, ya, Pih. Widya turun duluan, ya. Ngantuk," sahutku, lalu beranjak dari mobil dan memasuki rumah.

Sebelum memasuki kamar, sekilas kulihat pintu kamar Pipih yang terbuka. Tak ada Mimih di sana, pun di ruang tengah menyambut kepulangan kami malam ini. Ah, mungkin wanita itu tengah ke kamar kecil. Tak ingin terlalu ambil pusing, aku pun bergegas memasuki kamar mencoba untuk membuai mimpi.

***

Siang yang terik di kawasan industri, membuat jualan es dan kopiku cukup laris hari ini. Beberapa karyawan pabrik dan pekerja bangunan ruko, tampak asyik bercerita soal pekerjaan mereka masing-masing. Aku bersandar di sepeda seraya membenarkan posisi topi, memperhatikan beberapa mobil mewah yang baru saja memasuki salah satu pabrik besar, tak jauh dari tempatku mangkal siang ini.

"Wid, es jeruk satu, dong!" seru salah satu karyawan yang baru keluar untuk beristirahat.

"Siappp!"

"Gulanya banyakin, ya."

Aku mengangguk, kemudian menyodorkan satu gelas es jeruk pada karyawan berseragam biru tua itu. "Tumben telat keluarnya, Mas?" tanyaku basa-basi. Mengingat pria yang kuajak ngobrol saat ini adalah salah satu pegawai yang paling rajin keluar-masuk pabrik untuk sekadar merokok atau nongkrong.

"Iya, habis bersih-bersih mesin gue. Mau ada kunjungan big bos," imbuhnya sembari menyeka keringat.

"Wah, kejutan, dong?"

"Kejutan ndasmu!" gerutunya sambil menekuk wajah.

Aku tertawa geli mendapati reaksi pria bertubuh tegap itu. "Sepertinya, big bos yang Mas maksud udah mulai datang ke pabrik. Tadi aku lihat deretan mobil bagus memasuki gerbang depan sesaat setelah jam istirahat," tebakku berniat mengerjai pria di hadapan.

"Hah, serius, Wid?"

"Sepertinya, lho, Mas. Soalnya aku baru kali ini mendapati mobil itu memasuki pabrik tempat Mas bekerja. Aku, kan, mangkal di sini udah berbulan-bulan, jadi cukup hafal wajah-wajah karyawan dan juga kendaraan yang kerap keluar-masuk pabrik di sekitaran sini."

"Wah, lama-lama kamu bisa jadi kuncen kawasan ini, Wid." Pria itu kini berbalik menertawakanku.

Aku mendengkus, lalu memilih melanjutkan membuat minuman pesanan karyawan lain.

***

Semakin sore, tetapi mentari masih saja angkuh menghujani bumi dengan teriknya. Kukayuh sepeda perlahan setelah lelah berjualan seharian. Jalanan kawasan industri sore ini cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan karyawan yang akan pergi atau pulang setelah pergantian sif. Sejenak aku berhenti sebelum menyeberang dan memasuki sebuah jalan sempit menuju rumah, untuk memastikan tak ada kendaraan lain yang melintas. Namun, belum sempat aku menyeberang, satu panggilan dari seorang pria tua membuat kaki sejenak berhenti mengayuh sepeda.

"Dek, sini!" Pria tua itu berteriak dari sisi mobil mewah yang berhenti di bahu jalan.

Aku mengangguk, lalu mendorong sepeda perlahan ke arahnya.

"Ada minuman dingin, Dek? Bos saya kehausan, kelamaan nunggu taksi karena mobil ini tiba-tiba mogok." Pria tua itu bertanya dengan ramah.

"Oh, ada, Pak. Mau rasa apa? Ada mangga, jeruk, anggur, straw—"

"Tunggu, tunggu! Saya tanya Bos saya dulu, ya, Dek," potongnya, lalu mengetuk kaca mobil sang berwarna hitam yang menepi di bahu jalan.

Perlahan, kaca mobil mewah itu pun terbuka. Tampak seseorang yang sepertinya tak asing di mata berbicara pada pria tua di hadapannya. Tak butuh detik kesepuluh, untuk membuatku sadar bahwa ia adalah pria yang baru saja kutemui semalam. Paras itu, aroma tubuh itu ... kembali hadirkan desir yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Cinta ...?

Pria Bertuxedo Hitam (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang