Part 5

20 5 0
                                    

#Pria_Bertuxedo_Hitam
By: Salwa Sabila
Part 5

"Assalamualaikum, Pih." Tepat pukul 17.00 aku sampai di rumah, kudapati Pipih tengah berdiri di teras seraya memandangi kakatua peliharaannya.

"Waalaikumsalam, Wid. Gimana jualannya?"

"Alhamdulillah laris, Pih. Widya mandi dulu, ya," izinku. Setelah mencium punggung tangan pria berkemeja putih itu.

Pipih hanya mengangguk sembari tersenyum.

Lepas salat Magrib, seperti biasa penghuni rumah akan berkumpul di meja makan untuk menikmati masakan Mimih bersama-sama. Wanita berdaster biru itu mengisi satu per satu piring kosong dengan nasi serta lauknya. Semua hal berjalan seperti malam-malam sebelumnya. Namun, ada yang sedikit berbeda dengan sikap Pipih sejak hari ini, pria itu lebih banyak diam dan hanya bicara seperlunya saja. Pipih yang biasanya bawel dan banyak omong meski tengah makan, malam ini hanya membuka mulut saat akan menyuapkan nasi.

Sejenak, aku mencoba menawarkannya untuk menambah lauk dan nasi saat makanan di piring pria paruh baya itu hampir habis. Akan tetapi, Pipih menolak dengan hanya menggeleng tanpa menoleh ke arahku. Sepertinya ... cinta pertamaku itu sedang tidak baik-baik saja.

"Pipih duluan, mau ngerokok di luar." Pria berambut klimis itu berdiri dari kursi, lalu berlalu menuju teras setelah piring di hadapannya kosong.

Aku hampir tersendak saat mendengarnya. Rokok? Sejak kapan Pipih merokok?

"Widya, kamu habiskan makannya. Habis makan, bantu Mimih cuci piring, ya," pinta wanita di sisiku tampak gusar.

Aku mengangguk. Sadar ... kalau penyebab situasi yang dingin ini tercipta karena keduanya—Pipih dan Mimih—tengah bersitegang.

Menit bergulir, setelah beres membantu Mimih membersihkan dapur dan piring kotor, aku berjalan ke teras menghampiri Pipih yang tengah berdiri sambil menatap langit. Cahaya bulan samar tertutupi awan mendung, hanya beberapa titik cahaya bintang atau mungkin planet di gelap langit. Aku berdehem pelan, berharap Pipih sadar akan hadirku dan mau berbagi sedikit keluh yang ia rasa.

"Kamu gak tidur aja, Wid?"

"Nanti saja, Pih."

"Bukannya besok kamu harus jualan? Istirahat sana."

"Bukannya Pipih juga harus merenovasi kontrakan? Kenapa Pipih juga belum istirahat?"

Pipih tertawa kecil, lalu mengacak pelan rambutku. Untuk sejenak, kami sama-sama terdiam dan kembali menatap pekatnya langit.

"Jadi, gimana, Wid?" Pertanyaan Pipih membuatku sulit mencerna apa maksudnya.

Aku mengangkat kedua bahu. "Gimana apa, Pih? Soal jualan, melanjutkan sekolah, atau—"

"Gimana, sudah dapat calon yang bisa bantu-bantu Pipih buat renovasi kontrakan belum?" ledek pria berbadan kurus itu.

Kini, aku gantian yang tertawa. "Ishhh, Pipih. Kenapa tak sewa tukang saja kalo mau ada yang bantu-bantu renovasi kontrakan?"

"Mahal bayarnya, Wid. Kalau ke calon mantu, kan bisa gratis," kelakar Pipih membuatku mengerucutkan bibir.

Pipih pun akhirnya merangkul pundakku, mengajarkan tentang betapa harusnya memilih pasangan yang setia dan sayang kepadaku. Sementara aku, hanya mengangguk mendengar ucapannya. Walau sebenernya tak terlalu ingin mendengarkan, karena masih merasa nyaman dengan kesendirian.

***

Pagi ini, kursi teras yang biasanya sudah ditempati Pipih untuk sarapan, tak berpenghuni karena katanya pria itu sudah berangkat pagi-pagi sekali ke kontrakan di ujung gang. Kusiapkan keperluan untuk jualan hari ini. Satu termos air panas, satu termos bongkahan es di wadah terpisah, dan berenceng-renceng serbuk kopi serta buah kujejerkan di keranjang yang terpasang di belakang sepeda.

"Assalamualaikum, Widya. Bapakmu ada?"

"Waalaikumsa ...." Aku menggantung ucapan kala mendapati siapa yang datang sepagi ini ke rumah. Bibirku terkatup dengan raut yang bisa dipastikan dalam seketika berubah masam.

Pria itu ... untuk apa ia ke sini dengan berkantung-kantung buah tangan di genggamannya?

Pria Bertuxedo Hitam (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang