#Pria_Bertuxedo_Hitam
By: Salwa Sabila
Part 8Pelan kumelangkah menuju kursi di teras. Di tempat itu, tampak Pipih dan Jacky begitu asyik melewati waktu di bawah kuningnya cahaya lampu. Kutarik salah satu kursi di antara mereka, lalu ikut menikmati kebersamaan setelah menyodorkan dua gelas kopi.
"Camilannya mana ini, Wid?" celetuk Jacky sambil menyesap kopi panasnya.
Aku hanya melirik, kemudian beralih memainkan ponsel sebagai bentuk ungkapan masa bodo.
"Widyaaa! Lu tuli, ya?"
"What? Lu bilang gue apa?"
"Tuli!"
"Sekali lagi!"
"Tu—"
"Sssttt, udah! Stop berdebatnya!" lerai Pipih sambil merentangkan kedua tangan.
"Lagian si Jacky, tuh, Pih! Dia pan bilang tadi siang mau bawain Widya bakso malam ini. Eh, malah dia datang pake tangan kosong," balasku tak terima.
"Lah, bukannya lu sendiri yang bilang? Kalau gue bantuin lu layanin pelanggan di kawasan siang tadi, utang sama baksonya gak usah jadi?"
"Kapan gue bilang gitu?"
"Lu, ya, Wid—"
"Sssttt, udah! Stop, ya, kalian berdua ini!" Lagi-lagi Pipih memotong perdebatanku dan Jacky. "Kenapa cuma gara-gara bakso jadi panas gini, sih? Widya, kamu mau bakso?" tanya Pria bersarung kotak-kotak itu lantang.
Aku menggangguk, padahal sebenarnya aku sudah kenyang karena baru saja selesai makan dan berniat hanya ingin mengerjai Jacky.
"Baiklah, Jacky, tolong antar Widya ke tukang bakso, ya. Ini, saya beri kalian uangnya," pinta Pipih sembari menyodorkan uang pada Jacky.
"E-eh, gak usah, Pak Wiro. Biar saya saja yang traktir Widya."
"Bener gak usah?"
"Iya, Pak gak usah. Sawah Bapak saya masih luas kalau cuma buat beliin satu mangkuk bakso ke teman cewek." Jacky menunjukkan barisan giginya, lalu berdiri dari kursi untuk kemudian meraih lenganku.
"E-eh, lu mau tarik gue ke mana?"
"Mau bakso gak?" tandas Jacky sambil terus menarikku menuju motor. Meninggalkan Pipih yang cuma berdiam di teras seraya terus menyaksikan kekonyolan kami.
Deru motor Jacky yang berisik, mengalahkan suara angin kencang karena laju kendaraan cukup cepat. Sudah menjadi kebiasaan aku memanfaatkan malam dan Jacky, untuk keluar dari rumah demi meringankan sedikit beban di kepala. Kurasa, pria bergaya nyentrik itu pun cukup tahu alasan sahabatnya ini menggerutu di depan Pipih barusan. Ya, bukan semata-mata karena ingin bakso, melainkan karena ingin menepi sejenak dari tempat berteduhku itu.
Kelip lampu kecil warna-warni di taman kota, tampak selaras memutari pohon-pohon tinggi yang berjejer rapi. Setelah lima menit Jacky menepikan motornya di tempat ini, akhirnya kami memutuskan duduk di kursi taman sembari menyantap satu plastik kecil gorengan. Pria yang lengan kirinya bertato itu tahu, kalau aku tak akan banyak bicara kala ada masalah. Ia hanya cukup diam, sambil tetap menemani meski mungkin di hatinya merasa jenuh.
"Lu gak ada janji sama gebetan lu, kan, Jack?" Akhirnya aku angkat bicara, setelah gorengan yang dibelikan Jacky di pinggiran jalan sekitar taman tandas.
"Kenapa? Lu mau gue tinggal sendiri?" ketusnya sambil meneguk minuman berkaleng.
"Ada janji gak?"
"Enggak ada, Wid! Santai aja, sih! Lu kayak baru temenan sama gue aja."
Aku tersenyum menanggapi reaksi pria bercelana denim itu.
"Kali ini, apa masalahnya?"
"Mimih gue sepertinya selingkuh dari Pipih, Jack," gumamku. Nyaris tak ingin mengeluarkan suara saat mengatakan hal tersebut.
"Whattt?" Tampang Jacky mendadak seperti udah tertimpa batu.
"Mudah-mudahan tebakan gue kali ini salah."
"Kita cari tahu bareng-barenglah, Wid."
"Mau lu bareng-bareng mulu sama gue."
"Gue serius, Wi-dy-aaa!"
Kami pun akhirnya tergelak bersama sambil menikmati desauan angin yang semakin menusuk tulang.
Detik terus berjalan, setelah merasa puas berbagi hal yang mengganjal hati pada Jacky, kami pun memutuskan untuk pulang dan segera menuju motor. Di parkiran taman, tiba-tiba mataku terfokus pada satu kendaraan mewah beroda empat yang cukup familiar. Tampak seorang pria tua berseragam khas seorang supir yang pernah kutemui tempo hari di jalanan kawasan industri, baru saja kembali ke mobil itu. Ia membawa beberapa kantung plastik yang sepertinya berisi kudapan, dari pedagang di sekitar taman, lalu mengetuk kaca di pintu bagian penumpang kendaraan tersebut.
Dalam sekejap, jantungku sudah berdetak cepat terlebih dahulu sebelum mendapati kaca itu terbuka dan memperlihatkan sosok di baliknya. Ya, aku berharap dapat melihat sosok pria yang belakangan hadir di mimpi setelah pertemuan kami di hotel malam itu. Sesuai perkiraan, kudapati Mister Topan berada di balik kaca kendaraan mewah tersebut dengan penampilan terbaiknya. Namun, ia tidak sendiri. Seorang wanita berkulit putih duduk di sisinya dan turut meraih beberapa kantung plastik dari sang pria tua. Hanya dengan melihat senyumnya pada pria tua, aku sudah bisa menilai bahwa si Wanita merupakan sosok anggun dan terpelajar. Hanya dengan melihat bahasa tubuhnya, aku sudah bisa menilai bahwa si Wanita mungkin merupakan pasangan Mister Topan.
Seketika kepiluan terasa menyeruak. Ah, konyol sekali aku ini. Apa hakku merasa sulit menerima kejadian yang tergambar di depan mata?
Aku pun mengalihkan tatapan ke arah Jacky dan bergegas memintanya untuk mengantar pulang.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Bertuxedo Hitam (Telah Terbit)
General FictionAngan Terlampau Tipis Berjarak Dengan Keinginan