Part 11

11 4 0
                                    

#Pria_Bertuxedo_Hitam
By: Salwa Sabila
Part 11

Pipih beberapa kali mengetuk pintu kamar. Sementara di dalam, aku terlalu sibuk mengusap air mata yang entah mengalir karena apa? Aku beranjak dari ranjang dan bergegas menemui pria berusia lima puluh tahun itu. Berusaha menutupi perih yang mendera dengan tersenyum di hadapannya.

"Ya, Pih?"

"Kamu lagi apa di dalam? Lama sekali buka pintunya?" tanya pria yang mengenakan kaus berwarna putih itu.

"Ketiduran, Pih, maaf."

"Kamu sepertinya lelah sekali habis seharian jalan-jalan sama Jacky. Makan dulu, yuk, Wid. Nanti dilanjut lagi tidurnya."

Aku menggangguk, lalu mengekor pria bertumbuh tambun itu menuju meja makan.

Pemandangan mengejutkan kudapati malam ini kala mendekati ruangan di dekat dapur. Tampak makanan-makanan lezat tersaji dan dengan satu penghuni asing di ruang makan kami malam ini. Pria berkemeja marun terlihat duduk sambil mengulum senyum menyambut kedatanganku ke meja makan.

Aku mengernyit. Mencoba memahami situasi apa lagi yang akan dibuat Mimih dan pria itu di belakang Pipih setelah ini?

"Malam, Wid," sapa pria berambut klimis itu di hadapan kedua orang tuaku.

Aku tersenyum sejenak, lalu memilih lekas duduk di samping Pipih. Sementara Mimih masih sibuk di dapur entah tengah menyiapkan apa.

"Wid, malam ini kita makan enak. Soalnya, Bang Tatang baru pulang dari luar kota dan dia bawa oleh-oleh ini khusus buat kita katanya." Pipih berkata seraya meraih beberapa tusukan sate di hadapannya.

Kutelan saliva yang terasa getir setelah mendengar ucapan pria di sebelah barusan.

"Eh, sudah kumpul semua? Ini Mimih bikinin agar-agar mangga, buat makanan penutup malam ini. Ayo, Wid ambil nasinya. Lauk kita malam ini banyak." Mimih yang baru muncul dari arah dapur berujar sambil menaruh sepiring puding berwarna kuning tepat di hadapan Bang Tatang.

Aku mendelik, melewati ritual makan malam terburuk selama masa diri ini hidup.

***

Peristiwa pelik yang terlewati seharian kemarin, cukup membuat semangat berjualanku goyah. Di bahu jalan dan sisi sepeda jualan, pikiran ini terus menyelam dalam kerunyaman. Ah, seharusnya aku tak bermimpi terlalu tinggi hingga akhirnya malah sakit seperti ini. Seharusnya aku lebih fokus pada apa yang dilakukan Mimih dan mencari bukti-bukti lain dengan meminta bantuan Jacky.

Matahari terbenam di ufuk barat dan ditutupi awan gelap. Kayuhan kaki pada pedal membawaku ke jalanan pulang setelah seharian berjualan. Sementara itu, tetes gerimis mulai kembali turun diiringi tiupan angin yang cukup kencang. Pandanganku sedikit kabur bersamaan dengan semakin derasnya air yang turun dari langit. Sampai tanpa disadari, hampir saja sepedaku menabrak kendaraan roda empat yang berhenti di hadapan.

"Widya, apa kamu selalu melewati jalan ini kala turun hujan?" Pertanyaan dari pemilik suara yang sudah cukup kukenal terdengar.

Seketika degup jantung kembali tak beraturan saat mencoba mencari sumber suara berasal.

"Hujan, Wid." Mister Topan tepat berada di hadapanku dengan payung berwarna hitam yang ia genggam.

Aku menganga. Tak percaya akan pertemuan yang tiba-tiba terjadi.

Lagi ....

"Bisakah kau mencarikanku tempat berteduh, Wid?" Suara pria di depanku terdengar kalah oleh gemericik air yang turun.

"Apa, Mister?"

"Mobilku mogok, Wid. Ponselku ketinggalan dan aku tak didampingi sopir."

Demi apa ini, Tuhan? Setelah mati-matian aku meredam kecewa karena tahu ternyata ia sudah memiliki istri, kini pria berkemeja hitam itu kembali hadir dengan meminta pertolongan di hari ini.

"Wid ...?"

"Ya, Mister? Eh, apa Mister sudi mampir ke rumahku?"

Bersambung ....

Pria Bertuxedo Hitam (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang